
Melalui jejaring ini, mahasiswa doktoral bisa melakukan riset bersama profesor ternama di luar negeri, sementara peneliti senior Unhas bisa memimpin proyek multinasional yang membicarakan isu global seperti perubahan iklim dan ketahanan pangan.
Namun, keunggulan TRG bukan semata karena jejaring global itu. Akar riset tetap menjejak kuat pada kebutuhan masyarakat timur Indonesia. Setiap tema yang diangkat lahir dari realitas sehari-hari.
Petani jagung di Bone yang menghadapi gagal panen akibat cuaca ekstrem, nelayan di Maluku yang berjuang menjaga stok ikan agar tidak punah, keluarga di pesisir Sulawesi yang masih rentan terhadap stunting, hingga desa-desa terpencil yang hidup dalam keterbatasan energi listrik.
Dengan begitu, TRG tidak terjebak dalam euforia internasionalisasi yang sering kali melupakan konteks lokal. Ia justru menjadikan kebutuhan lokal sebagai titik berangkat, lalu memanfaatkan jaringan global untuk mencari jawaban, memperkuat metodologi, dan memperluas dampak. Global memberi akses, lokal memberi arah.
Dari pertemuan dua kutub inilah lahir kekuatan unik TRG: ia tidak hanya menempatkan Unhas dalam peta akademik dunia, tetapi juga memastikan bahwa riset yang dilakukan benar-benar relevan dan memberi manfaat langsung bagi masyarakat yang menjadi denyut nadi universitas.
Laboratorium Besar dari Timur
Prof. JJ sering menyebut Unhas sebagai “laboratorium besar dari timur Indonesia”. Ungkapan itu tidak lahir dari retorika kosong, melainkan dari keyakinan bahwa sebuah universitas bisa menjadi ruang uji ide, wadah eksperimen sosial, sekaligus tempat lahirnya inovasi yang berakar pada realitas masyarakat.
Di bawah payung TRG, gagasan-gagasan baru diuji, dipertemukan, lalu ditransformasikan menjadi kebijakan, inovasi, dan solusi nyata yang menyentuh kehidupan.
Laboratorium besar itu tidak hanya berisi tabung reaksi atau perangkat teknologi canggih, tetapi juga jaringan manusia: peneliti, mahasiswa, mitra internasional, petani, nelayan, hingga komunitas lokal.
Semua pihak ini menjadi bagian dari ekosistem riset, saling belajar dan saling menguatkan.TRG juga menghadirkan narasi tandingan dalam lanskap pendidikan tinggi Indonesia.
Jika selama ini universitas di luar Jawa sering diposisikan sekadar sebagai “pengikut”, maka TRG menunjukkan bahwa pusat inovasi juga bisa lahir dari timur Nusantara. Riset yang dikerjakan bukan sekadar mengejar ketertinggalan, melainkan menawarkan perspektif segar pada percakapan global.
Di forum-forum internasional, peneliti Unhas kini tidak lagi datang hanya sebagai peserta, tetapi sebagai kontributor gagasan. Isu-isu seperti kelautan, pangan berkelanjutan, atau energi terbarukan, yang selama ini dianggap sebagai “isu pinggiran”, justru menjadi modal utama untuk berdialog dengan dunia.
Dari situlah lahir kesadaran baru: bahwa timur Indonesia bukan sekadar penerima arus modernisasi, melainkan sumber inspirasi bagi peradaban global.
Di tangan para peneliti TRG, riset bukan lagi sekadar angka publikasi atau indeks sitasi. Ia hadir sebagai pengetahuan yang hidup, menjawab persoalan nyata, dan mengubah wajah masyarakat.
Dari Tamalanrea hingga Tokyo, mesin inovasi itu berdetak, membawa Unhas menjejak lebih kuat di bumi, sekaligus melangkah percaya diri ke panggung dunia.(*)