.webp)
Murid 'sekolah kolong' cabang SDN 238 Inpres Bontoparang tengah belajar di kolong rumah warga Dusun Bara, Jumat (16/5/2025). (dok bbpmp sulsel).
Dalam sesi tanya jawab dengan murid, Imran mendekati dua anak perempuan yang setiap hari berjalan kaki satu jam dari rumah menuju sekolah. Mereka berangkat pukul 06.00 pagi, melewati kebun dan lereng bukit.
“Kami ingin belajar di sekolah seperti teman-teman kami di kota, Pak,” ucap salah satu dari mereka sambil menunduk.
Anak-anak lain ikut bersuara. Mereka ingin kelas dengan meja yang layak, papan tulis, atap yang tidak bocor, dan guru yang bisa hadir setiap hari.
“Kami belajar di kolong rumah, kadang kepanasan, kadang kehujanan,” ujar seorang siswa laki-laki. Imran terdiam. Matanya berkaca-kaca. “Kalian hebat. Kalian luar biasa,” katanya.
Dalam sambutannya, Imran menyampaikan bahwa BBPMP akan membawa cerita ini ke pusat. Tapi untuk itu, mereka perlu data.
“Kami butuh angka pasti anak usia sekolah di wilayah ini, berapa guru yang tersedia, berapa yang dibutuhkan. Dengan itu, kami akan berjuang,” katanya. Kepada para siswa, ia juga mengajarkan tujuh kebiasaan anak Indonesia sehat.
Sementara, Muliyati, Kepala Seksi Pendidik dan Tenaga Kependidikan SD Dinas Pendidikan Pemkab Maros, memperkuat permintaan anak-anak sekolah.
Menurutnya, jumlah guru kelas belum terpenuhi baik di sekolah induk maupun kelas jauh. “Tenaga yang ada saat ini belum cukup. Dan mereka bekerja dalam keterbatasan,” ujarnya. Ia menyarankan ada insentif khusus bagi guru di daerah terpencil seperti Dusun Bara.
.webp)
Kepala BBPMP Sulsel Ir Imran SKom MT bercengkerama dengan Murid-murid sekolah kolong cabang SDN 238 Inpres Bontoparang di Desa Bonto Parang, Maros, Jumat (16/5/2025). (dok bbpmp sulsel).
Sekolah Kolong sejatinya bukan hanya bangunan darurat. Ia adalah simbol perjuangan di tengah keterbatasan.
Sebuah etalase kecil tentang bagaimana negara belum sepenuhnya hadir di semua penjuru negeri. Namun di balik kekurangan itu, tekad anak-anak dan guru-guru di sana menyala terang.
Rombongan BBPMP menutup kunjungan dengan yel-yel “Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat.” Anak-anak bersorak, meski suara mereka terbata-bata.
Mereka menyalami tamu-tamu dari kota dengan harapan sederhana: jangan lupakan kami. Foto bersama menjadi penutup hari, tetapi awal dari cerita yang semoga tak berhenti di sini.
Sebelum meninggalkan dusun, Imran berjanji akan kembali. “Kalau perlu, kita kemah di sini, bersama guru dan masyarakat. Supaya kita lebih paham betul apa yang dibutuhkan,” katanya.
Di wajahnya tersirat tekad. Di wajah para guru, tersirat sedikit kelegaan—walau belum bisa memegang janji ada pembangunan, setidaknya mereka kini tak sendiri.
Kunjungan itu bukan sekadar formalitas birokrasi. Ini menjadi pengingat bahwa pendidikan tidak hanya soal kurikulum dan angka partisipasi. Di tempat-tempat seperti Dusun Bara, pendidikan adalah soal kaki yang kuat, hati yang teguh, dan kemauan untuk hadir di tengah ketertinggalan.
Sekolah Kolong mungkin tak punya dinding kokoh atau papan tulis canggih. Tapi di bawah rumah panggung itu, tumbuh cita-cita yang tak bisa dibendung.
Mereka tak menunggu Ki Hajar Dewantara datang menjemput. Mereka hanya menanti tangan yang peduli, yang bersedia menyambung asa mereka. Di situlah pendidikan menemukan maknanya yang paling jujur.
(Arif Fuddin Usman / Unhas.TV)