Hiburan

Titiek Puspa: Legenda Musik Indonesia dan Karya-Karyanya yang Abadi

MAKASSAR, UNHAS.TV - Titiek Puspa, nama yang tak asing di telinga pecinta musik Indonesia, adalah seorang seniman multibakat yang telah mengukir sejarah panjang dalam industri hiburan Tanah Air. 

Lahir pada 1 November 1937 di Tanjung, Kalimantan Selatan, dengan nama asli Sudarwati, ia kemudian dikenal luas dengan nama panggung yang diberikan oleh Presiden Soekarno pada era 1950-an. Perjalanan kariernya yang lebih dari enam dekade menjadikannya salah satu ikon musik Indonesia yang karyanya terus dikenang lintas generasi.

Titiek Puspa kecil sebenarnya bercita-cita menjadi guru taman kanak-kanak, sebuah impian yang mencerminkan kepekaannya terhadap dunia pendidikan dan anak-anak. Namun, bakat menyanyinya yang luar biasa membawanya ke jalan yang berbeda. 

Di usia 14 tahun, ia mulai mengikuti berbagai lomba menyanyi di Semarang, meski sempat ditentang oleh keluarganya. Untuk menyiasati larangan tersebut, ia menggunakan nama samaran "Titiek Puspo," yang diambil dari panggilan sehari-harinya "Titiek" dan nama ayahnya "Puspo", yang kemudian diterjemahkan menjadi "Puspa", berarti bunga.

Kemenangannya dalam kontes Bintang Radio tingkat Jawa Tengah pada 1954 menjadi titik awal kariernya. Dari panggung lokal di Semarang, ia melangkah ke Jakarta dan akhirnya menjadi penyanyi tetap Orkes Simfoni Jakarta di bawah arahan Sjaiful Bachri. 

Rekaman piringan hitam pertamanya dengan label Gembira, yang berisi lagu-lagu seperti "Di Sudut Bibirmu" dan "Esok Malam Kau Kujelang", menandai debutnya di dunia musik profesional.



Titiek Puspa bukan hanya penyanyi, tetapi juga pencipta lagu ulung. Pada 1963, ia mulai menulis lagu untuk albumnya sendiri, seperti "Si Hitam" dan "Pita", yang masing-masing berisi 12 lagu ciptaannya. 

Album "Si Hitam" melahirkan hits seperti "Si Hitam", "Tinggalkan", dan "Aku dan Asmara", sementara album "Doa Ibu" menghadirkan karya legendaris seperti "Minah Gadis Dusun" dan "Pantang Mundur". 

Lagu-lagu ini tidak hanya populer pada masanya, tetapi juga mencerminkan kemampuan Titiek Puspa dalam merangkai lirik yang mendalam dengan melodi yang mudah diingat.

Salah satu karya paling monumentalnya adalah "Kupu-Kupu Malam", yang dirilis pada 1977. Lagu ini terinspirasi dari kisah nyata seorang wanita yang terpaksa menjual diri untuk melunasi utang setelah ditinggalkan suaminya. 

Dengan lirik yang penuh empati dan melodi yang menyentuh, lagu ini menjadi simbol kepedulian sosial Titiek terhadap nasib perempuan. Kepopulerannya bahkan melonjak lagi pada 2005 ketika dibawakan ulang oleh grup band Peterpan (kini Noah), membuktikan bahwa karya Titiek mampu melintasi zaman.

Lagu lain yang tak kalah terkenal adalah "Apanya Dong", yang pertama kali dinyanyikan oleh Euis Darliah pada 1982. Dengan nuansa ceria dan jenaka, lagu ini menjadi bagian dari film berjudul sama yang dibintangi Titiek sendiri. 

Versi aransemen ulang oleh grup Seurieus pada 2005 dengan sentuhan rock menunjukkan fleksibilitas karya Titiek yang bisa diterima oleh generasi baru. Selain itu, "Dansa Yo Dansa", yang ditulis untuk grup The Rollies pada 1970-an, juga menjadi favorit dengan irama riang dan pesan positifnya.

Titiek juga dikenal sebagai pencipta lagu anak-anak yang edukatif, seperti "Bimbi", yang kemudian diaransemen ulang oleh The Virgin pada album Full Circle. Dedikasinya pada musik anak-anak mencerminkan visinya untuk melestarikan seni yang bermakna bagi generasi muda. Lagu “Bing,” sebuah tribute untuk Bing Slamet, dan “Sendiri,” yang menggambarkan kesendirian dengan penuh emosi, turut memperkaya diskografinya.

Tak puas hanya berkarya di musik, Titiek Puspa memperluas bakatnya ke dunia akting dan teater. Debut filmnya dimulai pada 1966 dengan "Minah Gadis Dusun", diikuti oleh berbagai judul seperti "Di Balik Cahaya Gemerlapan" (1976), "Inem Pelayan Sexy" (1976), "Karminem" (1977), hingga "Ini Kisah Tiga Dara" (2016), di mana ia berperan sebagai Oma dan masuk nominasi Pemeran Pendukung Wanita Terbaik di beberapa ajang penghargaan. Total, ia telah membintangi lebih dari 20 film sepanjang kariernya.

Di televisi, Titiek Puspa menggagas dan membintangi operet bersama grup Papiko yang ditayangkan di TVRI. Karya-karyanya seperti "Bawang Merah Bawang Putih", "Ketupat Lebaran", dan "Kartini Manusiawi" menjadi tontonan populer yang menunjukkan totalitasnya dalam seni pertunjukan.

Kiprah panjang Titiek Puspa telah diakui melalui berbagai penghargaan, salah satunya Anugerah Tanda Satya Lencana Wira Karya dari Presiden Suharto pada 1997 atas sumbangsihnya di bidang seni. 

Rolling Stone Indonesia juga memasukkan "Kupu-Kupu Malam" dan "Bing" dalam daftar lagu Indonesia terbaik sepanjang masa, mengukuhkan posisinya sebagai legenda.

Meski menghadapi tantangan seperti kanker serviks pada 2009, yang ia lawan dengan meditasi dan doa sambil tetap berkarya, serta pecah pembuluh darah pada 2025 yang membawanya ke perawatan intensif, semangat Titiek tak pernah padam. Hingga usianya yang ke-87, ia terus aktif berkolaborasi dengan musisi muda dan melestarikan karyanya melalui platform digital seperti YouTube dan Instagram.

Titiek Puspa adalah bukti nyata bahwa seni dapat menjadi cermin kehidupan dan jembatan antargenerasi. Karya-karyanya, dari "Kupu-Kupu Malam" hingga "Apanya Dong", tidak hanya menghibur, tetapi juga menginspirasi dengan cerita dan pesan yang abadi. 

Sebagai penyanyi, pencipta lagu, aktris, dan sutradara, ia telah meninggalkan jejak yang tak akan lekang oleh waktu dalam sejarah seni Indonesia. Di usia senjanya, Titiek Puspa tetap menjadi simbol ketangguhan dan kreativitas yang terus bersinar.(*)