News

Unhas Merevolusi Pendidikan Dokter Gigi: Ketika Ruang Praktik Pindah ke Ruang Virtual

SUASANA ruang laboratorium di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin tampak berbeda. Mahasiswa kedokteran gigi berdiri mengenakan headset virtual reality, memegang controller di kedua tangan.

Di depan mereka, bukan lagi kepala phantom atau manekin biasa, melainkan simulasi ruang praktik pencabutan gigi berbasis Immersive Reality (IR). Mereka bukan hanya melihat, tapi seolah masuk ke dalam dunia praktik yang nyaris nyata.

Inilah teknologi baru yang sedang diuji coba oleh tim peneliti lintas perguruan tinggi di Indonesia. 

Dipimpin oleh Prof. Drg. Muhammad Ruslin, Ph.D., Guru Besar Bedah Mulut FKG Unhas, simulator berbasis Immersive Reality untuk pelatihan ekstraksi gigi ini digadang-gadang sebagai terobosan dalam dunia pendidikan kedokteran gigi di Indonesia.

“Mahasiswa sering kali kesulitan memahami prosedur pencabutan gigi secara detail hanya dari praktik konvensional. Teknologi IR ini membantu mereka mengasah keterampilan sekaligus meningkatkan kepercayaan diri,” ujar Prof. Ruslin.

Riset ini melibatkan tiga universitas: Universitas Hasanuddin di Makassar, Universitas Padjadjaran di Bandung, dan Universitas Sumatera Utara di Medan. Total 120 mahasiswa tingkat tiga akan dilibatkan dalam studi ini, yang sudah terdaftar resmi di Indonesian Clinical Research Registry dengan nomor INA-QES4CC5.

Simulasi ini bukan hanya soal teknologi visual. Menggunakan perangkat Meta Quest Pro 3, mahasiswa diarahkan untuk melakukan serangkaian prosedur pencabutan gigi — dari penyuntikan anestesi, insisi, luxasi, hingga penjahitan luka — semuanya dalam lingkungan virtual.


Prof drg Muhammad Ruslin

Tak hanya visual dan audio, sistem ini juga menampilkan penanda visual, suara pemandu, dan respon interaktif yang mensimulasikan pengalaman klinis nyata.

Pelatihan dilakukan secara terstruktur: 10 menit pertama di bawah bimbingan langsung dosen spesialis bedah mulut, lalu dilanjutkan secara mandiri dengan bantuan sistem dalam aplikasi. Waktu pelatihan maksimal 60 menit, dan semua proses dilacak secara sistematis oleh tim asisten peneliti.

Mahasiswa yang mengikuti simulasi kemudian mengisi kuesioner Immersive Reality Neuroscience Questionnaire (IRNQ) dan Clinical Virtual Evaluation Questionnaire (CVEQ) yang dirancang untuk mengukur efektivitas pelatihan, kenyamanan, pengalaman belajar, hingga potensi efek samping seperti cybersickness.

Skor minimum 25 untuk setiap aspek menjadi patokan bahwa sistem telah cukup aman dan efektif untuk digunakan dalam proses pendidikan.

Sebagai pembanding, kelompok mahasiswa lain tetap menjalani pelatihan konvensional di laboratorium menggunakan manekin gigi. Metode ini selama ini dianggap cukup efektif, tetapi memiliki keterbatasan dalam hal variasi kasus, kehadiran dosen, dan kemampuan mahasiswa untuk mengulang-ulang pelatihan dengan konteks yang konsisten.

“Selama ini, mahasiswa belajar dari pasien sungguhan, dari phantom, atau dari mengamati dosen melakukan prosedur,” ujar Prof. Ruslin. “Tapi IR memberikan peluang untuk mengulang prosedur tanpa batas, tanpa risiko, dan tetap mendapatkan umpan balik real-time.”

Inovasi ini juga merupakan jawaban atas tantangan serius dalam pendidikan dokter gigi di Indonesia — ketimpangan fasilitas praktik antara pusat dan daerah, keterbatasan kasus klinis di rumah sakit pendidikan, serta minimnya akses terhadap teknologi pelatihan canggih.


simulasi di FKG Unhas


Bukan hanya aspek teknis, simulasi IR juga menyentuh sisi emosional dan afektif dalam pembelajaran. Riset menunjukkan bahwa pelatihan yang memicu rasa "hadir secara penuh" dalam simulasi dapat meningkatkan empati, konsentrasi, dan retensi pengetahuan.

Mahasiswa merasa lebih terlibat, lebih antusias, dan lebih siap menghadapi dunia klinis yang sesungguhnya.

Penelitian ini pun membuka jalan bagi pengembangan platform pembelajaran sejenis di bidang kesehatan lain. Prof. Ruslin membayangkan masa depan pendidikan kedokteran yang tidak lagi tergantung pada ruang praktik fisik. 

“Bayangkan jika pelatihan operasi, anestesi, atau bahkan konsultasi pasien bisa dilakukan lewat simulasi virtual seperti ini. Kita akan punya generasi tenaga kesehatan yang lebih siap dan merata kemampuannya, dari Jakarta hingga Jayapura.”

Dengan pendekatan studi dua kelompok dan pengambilan data di tiga pusat pendidikan kedokteran gigi, proyek ini menjadi studi pertama di Indonesia yang menguji efektivitas IR secara terstruktur dan berbasis bukti ilmiah.

Hasil dari studi ini diharapkan rampung pada akhir tahun 2025 dan akan dipublikasikan di jurnal internasional setelah melewati proses peer-review.

Meski masih tahap pilot, proyek ini telah memicu antusiasme yang tinggi. Bagi mahasiswa, ini adalah cara belajar yang revolusioner. Bagi dosen, ini membuka kemungkinan baru untuk memantau proses belajar dengan data yang akurat. Dan bagi dunia pendidikan kedokteran, ini adalah masa depan yang tak lagi jauh.

“Jika simulasi berbasis Immersive Reality ini berhasil,” kata Prof. Ruslin menutup perbincangan, “maka kita telah membuka gerbang baru menuju sistem pendidikan kedokteran gigi yang lebih adaptif, lebih inklusif, dan lebih canggih.”

Teknologi boleh maya, tapi dampaknya nyata. Dari ruang-ruang virtual itulah, dokter gigi masa depan sedang ditempa.