MAKASSAR,UNHAS.TV - Fenomena migrasi nonprosedural menyisakan tantangan multidimensi, terutama pada aspek pemulihan psikososial dan kemandirian ekonomi perempuan purna migran di daerah asal.
Merespons kompleksitas isu ini, sekelompok akademisi muda dari Universitas Hasanuddin (Unhas) meluncurkan program berbasis riset dan pengabdian yang terstruktur: "Passompe".
Program ini, yang mentransformasi trauma menjadi modal kewirausahaan digital di Bulukumba, tidak hanya menjadi intervensi lokal, tetapi langsung mendapat pengakuan sebagai model best practice yang potensial diduplikasi secara nasional oleh Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Dzulfikar Ahmad Tawalla, pada Kamis (16/10) di Gedung Ipteks Unhas.
Program bertajuk "Passompe: Revitalisasi Psikososial Perempuan Purna Migran Bulukumba melalui Pemanfaatan Digital Kreatif dan Entrepreneur Awareness Berbasis Community Empowerment" dinilai sebagai model pemberdayaan yang patut diduplikasi secara nasional.
Inisiatif luar biasa ini digagas oleh tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM-PM) Unhas yang diketuai oleh Aliyah Fadhilah, bersama anggotanya Winda, Tri Imroatu Sholihah, dan Zahra Amalia Wildani.
Mereka melihat adanya kebutuhan krusial untuk membantu para mantan pekerja migran ilegal beradaptasi, memulihkan kondisi psikososial, dan, yang terpenting, mencapai kemandirian ekonomi.
"Program Passompe ini fokus pada purna migran nonprosedural agar mereka bisa beradaptasi kembali ke tengah masyarakat dan mandiri secara ekonomi berbasis komunitas," jelas Aliyah Fadhilah, sang ketua tim, dengan semangat.
Pendekatan yang ditawarkan tim ini tidak sekadar pelatihan keterampilan biasa. Mereka menggabungkan revitalisasi psikososial, pemanfaatan digital kreatif, dan kesadaran entrepreneur. Tujuannya jelas: mengubah trauma menjadi energi kreatif dan mendorong mereka menjadi pelaku usaha mandiri.
Wamen P2MI: Sebuah Roadmap Pencegahan Ilegal
Apresiasi dari Wamen P2MI, Dzulfikar Ahmad Tawalla, bukan hanya sekadar pujian, melainkan penegasan akan urgensi program ini. Ia melihat Passompe sebagai blueprint (cetak biru) konkret untuk mengatasi akar masalah migrasi ilegal.
"Saya kira itu satu hal yang sangat luar biasa yang dilakukan oleh teman-teman dari Unhas. Saya berharap lewat program ini bisa juara, karena kalau menang, bisa kami duplikasi dan terapkan di daerah lain," ujar Dzulfikar.
Lebih lanjut, Wamen Dzulfikar menekankan bahwa pendampingan profesional adalah kunci agar para purna migran yang pernah berangkat secara ilegal tidak terjerumus kembali ke jalan yang sama. Ia menitipkan harapan besar kepada para mahasiswa Unhas. "Saya berharap para purna migran mendapat pendampingan yang baik dan profesional dari mahasiswa," tambahnya.
Program Passompe kini menjadi simbol nyata peran perguruan tinggi, khususnya Unhas, dalam menjawab tantangan sosial yang kompleks.
Inovasi ini tidak hanya mengangkat harkat perempuan dan memberdayakan masyarakat, tetapi juga memperkuat reputasi Unhas sebagai institusi yang peduli dan berkontribusi langsung pada kemajuan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan umum.
Kisah para "Passompe" yang bangkit melalui kreativitas digital dan kewirausahaan kini menjadi inspirasi, menandai babak baru kehidupan yang jauh dari risiko dan lebih bermartabat.(*)