MAKASSAR, UNHAS.TV - Perkembangan teknologi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence, AI) kini tak dapat lagi dibendung. Lima tahun terakhir, laju perkembangannya menunjukkan grafik eksponensial.
Dari sekadar asisten suara, kini AI dapat menulis, membuat karya seni, bahkan memberikan diagnosis medis awal. Ini menandakan dunia sedang berubah cepat, termasuk Indonesia.
"AI itu diciptakan karena dia tidak capek, berbeda halnya dengan manusia," ujar Prof Dr Ir Indrabayu ST MT MBus Sys IPM ASEAN Eng, Guru Besar bidang kecerdasan buatan Universitas Hasanuddin saat menjadi narasumber dalam program Unhas Speak Up, Selasa (22/4/25) siang.
Menurutnya, dibandingkan negara lain, Indonesia belum memiliki gambaran yang jelas tentang bagaimana melakukan transformasi menuju era AI, padahal tahun 2030 diprediksi akan menjadi momentum besar bagi transformasi tersebut.
Sementara negara seperti China bahkan telah mulai mengajarkan AI kepada siswa kelas 6 SD sejak sekarang. "Tahun depan, anak SD di China belajar AI karena mereka takut masa depan mereka tergantikan oleh AI," terangnya.
Lebih lanjut, Prof Indrabayu menggambarkan AI sebagai bayi yang baru lahir. "Kita beri data, kita ajari. Tapi kelebihannya, otaknya bisa terus jalan, tanpa capek, dan tidak pernah lupa,” jelasnya.
Dengan kekuatan ini, AI mampu menyimpan, mengolah, dan menggunakan data jauh lebih efektif dibanding manusia. Namun, Indrabayu menyayangkan pemanfaatan big data dan AI di Indonesia belum maksimal. Padahal, jika tidak memahami AI, setidaknya mengetahui secara filosofis.
"Tidak harus jago tapi paham, karena kalau tidak, Anda akan tidak dipakai di masa depan," tegasnya.
Lalu, pemerintah harus apa? Salah satu tantangan besar dalam pengembangan AI di Indonesia adalah regulasi pemerintah yang terlalu membatasi peran AI agar tidak menggantikan manusia.
"Padahal hidup berdampingan dengan AI itu pasti. Bukan tentang digantikan atau tidak, tapi bagaimana manusia beradaptasi," tambahnya.
Tingkat literasi yang rendah juga menjadi kendala utama. Menurut Prof Indrabayu, Indonesia berada di dua terbawah dalam tingkat literasi dunia.
"Orang Indonesia malas membaca dan lebih mencari hiburan dibanding ilmu di internet. Buka YouTube, yang dicari hiburan, bukan pengetahuan," ujarnya prihatin.
Ia menilai, pemerintah seharusnya mulai mengambil sikap tegas dengan mengatur konten yang beredar. "Misalnya TikTok harus dikurangi konten tidak bermanfaatnya. Penggunaan ChatGPT juga perlu dibatasi, terutama jika tidak digunakan untuk belajar atau bekerja," sarannya.
Kata Ketua Departemen Teknik Informatika, meskipun AI sangat canggih, bukan berarti semua profesi akan tergantikan. Profesi yang mengandalkan empati manusia, seperti psikolog dan dokter, akan tetap dibutuhkan.
"Karena empati itu sesuatu yang belum bisa dimiliki oleh AI," kata Prof Indrabayu.
Tapi, sebagian pekerjaan pasti akan tergantikan. Terutama mereka yang terlalu asyik di zona nyaman dan enggan beradaptasi. Prof Indrabayu mengingatkan bahwa kita harus menyadari perubahan ini dan bersiap menghadapi masa depan yang penuh tantangan.
"Kalau mau survive, harus beradaptasi," tutup Indrabayu.(*)
Zulkarnaen Jumar Taufik (Unhas TV)