News
Sport

Andy Robertson dan Janji Bersama Diogo Jota: Air Mata, Kenangan, dan Tiket ke Piala Dunia



Andy Robertson merayakan lolosnya Skotlandia ke Piala Dunia 2026 usai mengalahkan Denmark 402, Rabu (19/11/2025) dini hari. (screenshot the sun)


Gelandang Scott McTominay membuka pesta dengan cara yang tak mungkin dibayangkan. Di menit ketiga, ia melayang di udara, seolah melawan gravitasi, menerima umpan melambung dari Ben Gannon-Doak.

Pemain Napoli itu lalu melepaskan bicycle kick yang membuat Kasper Schmeichel terpaku. Gol itu segera menjadi salah satu ikon visual baru sepak bola Skotlandia.

Hampden Park bergemuruh. Namun kegembiraan itu cepat ditarik kembali ke bumi. Denmark, dipimpin Rasmus Hojlund, menyamakan kedudukan lewat penalti setelah pelanggaran yang dilakukan Andy Robertson sendiri. Laga kembali panas; nyawa Skotlandia kembali tertahan di tenggorokan pendukungnya.

Ketika Rasmus Kristensen menerima kartu merah, barulah harapan itu tampak menyala. Lawrence Shankland membawa Skotlandia unggul lagi, namun dalam tradisi lama drama sepak bola negeri ini, Patrick Dorgu membalas cepat dan membuat skor kembali imbang 2-2.

Dan pada titik itu—sembilan menit sebelum bubaran—Skotlandia seolah kembali berdiri di tepi jurang sejarah.

Lalu datanglah Kieran Tierney. Bek Celtic itu melangkah masuk sebagai pemain pengganti. Di benaknya, mungkin hanya ada satu tugas: bertahan. Tetapi sepak bola selalu punya caranya sendiri menciptakan legenda.

Di menit ke-93, bola jatuh di luar kotak penalti. Tierney tak menunggu. Dengan kaki kiri yang telah menggores sejarah klub dan negara, ia melepaskan tendangan melengkung yang merobek jaring Schmeichel.

Stadion meledak. Robertson menutup wajahnya. Para pemain Skotlandia berlari tak tentu arah, seolah tiba-tiba dibebaskan dari kutukan panjang.

Namun keindahan malam itu belum berhenti. Kenny McLean menutup pesta dengan gol dari tengah lapangan setelah Denmark meninggalkan gawang mereka dalam upaya mencari gol balasan.

Bola melambung, perlahan, melewati udara Glasgow yang beku, sebelum jatuh tepat di jaring. Skotlandia 4, Denmark 2. Tiket Piala Dunia resmi di tangan. Untuk pertama kalinya dalam 28 tahun.

Di tengah euforia, Andy Robertson berdiri sebagai penjaga emosi kolektif bangsa. Ia menyatukan pertandingan gila itu dalam satu napas panjang.

“Ini tim terbaik yang pernah aku bela,” katanya. “Kami tidak pernah menyerah. Malam ini buktinya.”

Di ruang wawancara, pelatih Steve Clarke—yang wajahnya merah karena menahan tangis—bahkan sempat bercanda.

“McTominay mencetak overhead kick terbaik yang pernah saya lihat,” katanya. “Dan itu bahkan bukan gol terbaik malam ini!”

Clarke kemudian mengisahkan percakapannya dengan Tierney sebelum pertandingan. Ia merencanakan peran bek kiri itu sebagai pengganti.

“Aku bilang, ‘Aku melihat kamu akan masuk dan melakukan sesuatu besar dari sisi kanan,’” ujar Clarke. “Tapi aku tidak membayangkan dia akan melakukannya dengan tembakan seperti itu.”

Lalu pelatih itu tertawa ketika membicarakan gol McLean. “Ketika bola itu melambung, aku sempat berkata, ‘Apa yang kau lakukan?’ Tapi ketika melihat lajunya… aku tahu itu akan masuk.”

Namun di luar seluruh sejarah dan angka, malam itu secara diam-diam adalah milik Andy Robertson. Ia bukan pencetak gol. Ia bukan pemberi assist. Ia bukan pahlawan lewat statistik. Tetapi ia adalah jantung yang berdetak paling keras.

Di ruang ganti, ia memeluk rekan-rekannya satu per satu. Di bahunya, ada beban kehilangan yang tak tampak. Namun justru beban itulah yang mendorongnya bertahan di lapangan saat ketegangan mencapai puncak.

Robertson, 31 tahun, tahu bahwa kesempatan tampil di Piala Dunia bagi kariernya tak lagi banyak. “Aku tahu usia ini… mungkin ini yang terakhir,” katanya.

Tetapi lebih dari itu, ia ingin menepati janji pada seseorang yang tidak ada di tribun malam itu.

“Jota dan aku sering bicara soal ini. Soal bisa pergi ke Piala Dunia, soal momen-momen besar. Ketika pertandingan dimulai, aku tahu aku harus melakukannya untuk dia. Aku tahu dia tersenyum.”

Di luar stadion, ribuan orang menyanyikan “Flower of Scotland”. Beberapa meneteskan air mata. Beberapa saling berpegangan bahu. Ada rasa lega yang mengalir, bercampur gembira, bercampur lelah.

Skotlandia bukan hanya lolos ke Piala Dunia. Mereka melakukannya dengan cara yang akan dikenang generasi berikutnya: comeback demi comeback, drama menit terakhir, gol-gol absurd, dan di sela-selanya, sebuah kisah persahabatan yang tak sempat mendapat akhir bahagia.

Di tengah malam Glasgow yang semakin dingin, Andy Robertson berjalan keluar ke lapangan yang mulai kosong. Ia menatap tribun, seolah mencari sesuatu. Atau seseorang. Lalu ia mengangguk pelan.

Malam itu, mungkin benar. Diogo Jota sedang tersenyum entah di mana—melihat sahabatnya membawa Skotlandia kembali ke panggung terbesar sepak bola.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Andy Robertson tersenyum, walau dengan air mata jatuh perlahan di pipi. (*)