News
Sport

Anfield Kembali Merah: Liverpool Bangkit, Madrid Tersandung

Gelandang Liverpool Alexis Mac Allister merayakan gol yang dicetaknya ke gawang Real Madrid dalam babak penyisihan grup Liga Champions di Stadion Anfield, Liverpool, Rabu (5/11/2025) dini hari. (screenshot the sun)

UNHAS.TV - Hujan rintik membasahi Anfield Selasa (4/11/2025) malam, namun suara ribuan pendukung Liverpool justru menggelegar, membelah langit basah Merseyside.

Di bawah sorotan lampu stadion yang berkilau di antara butir air, pasukan Arne Slot menampilkan sesuatu yang lebih dari sekadar permainan sepak bola. Sebuah pernyataan bahwa mereka kembali hidup.

Kemenangan 1-0 atas Real Madrid—klub dengan 15 trofi Liga Champions—bukan hanya tentang tiga poin di fase grup.

Ini tentang harga diri, tentang luka lama yang belum sepenuhnya sembuh sejak final Liga Campions di Paris 2022, ketika Thibaut Courtois tampil seperti laba-laba raksasa dari Belgia, mematahkan hati seluruh Anfield.

Malam itu, hampir tiga tahun berselang, sang penjaga gawang kembali jadi momok. Namun kali ini, keberuntungan berpihak pada The Reds.

Kali ini, Real Madrid datang dengan dua wajah yang akrab. Jude Bellingham, bintang muda Inggris yang kini bersinar di Spanyol, dan Trent Alexander-Arnold, anak kandung Anfield yang “berkhianat” ke Santiago Bernabéu.

Saat nama terakhir itu dipanggil dari bangku cadangan pada menit ke-81, sorakan ejekan menggema. Muralnya di kota Liverpool bahkan telah dicoret siang sebelumnya. Menggambarkan luka yang masih segar bagi para Scouser.

Namun sebelum drama itu terjadi, pertandingan telah menjadi arena pembuktian bagi generasi baru Liverpool.

Dominik Szoboszlai, gelandang asal Hungaria yang semakin menyatu dengan ritme cepat Anfield, jadi motor serangan. Ia berlari, menusuk, dan melepaskan tembakan yang memaksa Courtois menari di udara.

Kiper Madrid itu seolah memiliki lebih banyak tangan dari manusia biasa. Ia menepis sundulan Van Dijk, menahan tembakan Hugo Ekitike, lalu kembali terbang menyelamatkan bola dari sepakan jarak dekat Mac Allister.

Hingga akhirnya, pada menit ke-68, pagar itu runtuh. Dari sisi kanan lapangan, Szoboszlai meniru gaya umpan klasik Alexander-Arnold, melengkung, presisi, dan menggoda.

Mac Allister pun meloncat tinggi, menanduk bola ke arah tiang jauh. Courtois terbang, tapi tangannya tak menjangkau bola. Jaring bergetar. Anfield pun meledak.

Gol itu bukan hanya memecah kebuntuan, tapi juga memecah keangkuhan Madrid.

Pertarungan Dua Dinasti

Pertemuan antara Liverpool dan Real Madrid selalu membawa aroma sejarah. Dua dinasti Eropa dengan 21 gelar Liga Champions di antara mereka.

Dalam enam tahun terakhir, Madrid empat kali menyingkirkan Liverpool, termasuk dua kali di final. Namun malam ini, hierarki itu terguncang.

Slot menurunkan formasi yang sempat diragukan. Florian Wirtz, pemain muda Jerman, dipasang di sisi kiri menggantikan Cody Gakpo. Keputusan yang tampak aneh, tapi justru memberi warna.

Wirtz bermain bebas, bergerak ke kanan merebut bola dari Dean Huijsen, memberi umpan silang tajam yang nyaris berbuah gol di awal laga.

Di sisi lain, trio maut Madrid—Vinicius Jr, Bellingham, dan Kylian Mbappé—kesulitan menemukan ruang gerak yang bebas.

Conor Bradley, pengganti Alexander-Arnold di posisi bek kanan, tampil seperti anak lokal yang marah rumahnya diusik tamu tak diundang. Setiap tekel disambut sorakan, setiap duel dimenangkan dengan teriakan dari tribun.


Statistik pertandingan Liverpool unggul 1-0 atas Real Madrid di penyisihan grup Liga Champions. (screenshot the sun)


Vinicius frustrasi. Setelah menjatuhkan Bradley di menit ke-20 dan menerima kartu kuning, ia beberapa kali mencoba “memancing” pelanggaran. Namun kali ini, penonton di Anfield tak terprovokasi.

“Kami sudah hafal triknya (Vinicius),” ujar seorang pendukung di Kop dengan nada sinis, seolah berbicara pada televisi.

Kontroversi sempat memanaskan laga. Sepakan Szoboszlai membentur tangan Aurelien Tchouameni tepat di garis kotak penalti.

Wasit Istvan Kovacs awalnya memberi tendangan bebas, tapi VAR memanggilnya ke layar. Semua menahan napas. Beberapa detik kemudian, keputusan tetap, bukan penalti.

Booing menggema. VAR di Eropa, yang kerap dianggap lebih “adil” daripada di Premier League, kembali menunjukkan bahwa teknologi tetap tak bisa sepenuhnya menyingkirkan tafsir manusia, yaitu seorang wasit. “Kalau ini bukan handball, lalu apa gunanya tangan?” komentar Slot dengan nada datar seusai laga.

Namun para pemainnya tak larut. Mereka terus menekan. Courtois menepis satu, dua, tujuh tembakan. Sampai akhirnya, Szoboszlai menemukan cara melewati tembok itu lewat bola mati.

Alexander-Arnold Pulang sebagai Musuh

Ketika papan pergantian angka menyala di menit ke-81, Alexander-Arnold berdiri di pinggir lapangan, wajahnya datar.

Ia masuk menggantikan Arda Guler, dan langsung disambut siulan panjang. Setiap kali bola menyentuh kakinya, Anfield bersuara seperti badai kecil.

Tak ada yang personal, kata orang. Tapi bagi kota yang hidup dari rasa memiliki, kepergiannya ke Madrid adalah luka terbuka. Malam itu, setiap ejekan adalah bentuk cinta yang terkhianati.

Ironisnya, umpan yang memberi gol kemenangan Liverpool datang dari gaya khasnya—sebuah simbol bahwa meski ia sudah berpakaian putih, semangat Anfield masih mengalir di lapangan tanpa dirinya.

Arne Slot, pelatih yang sempat diragukan setelah enam kekalahan dari tujuh laga, berdiri di pinggir lapangan dengan tangan terlipat, bibirnya nyaris tersenyum. Dua kemenangan beruntun—atas Aston Villa dan kini Real Madrid—memberi napas panjang.

“Ini tentang mentalitas,” ujarnya setelah laga. “Kami bukan hanya ingin bermain bagus. Kami ingin menunjukkan bahwa Liverpool selalu punya hati.”

Dengan dua laga ringan berikutnya, dan kunjungan ke Inter Milan serta Marseille yang menanti, Liverpool punya peluang besar finis di delapan besar dan langsung lolos ke babak 16 besar tanpa play-off.

Di luar stadion, hujan belum reda. Namun para pendukung berjalan pulang dengan langkah ringan, menyanyikan “You’ll Never Walk Alone” sambil menatap langit Anfield yang berkabut merah.

Malam itu, di bawah hujan dan lampu stadion, Liverpool bukan sekadar menang. Mereka kembali—dengan kepala tegak, dan hati penuh api. (*)