UNHAS.TV - Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) menilai Pemilu 2024 memiliki tantangan yang lebih besar dibanding Pemilu 2019 terkait penyebaran hoaks politik.
Hoaks politik pada Pemilu 2019 umumnya didominasi dengan narasi teks dan gambar, tetapi pada Pemilu 2024, hoaks politik sudah tersentuh dengan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI).
"Ini menjadi tantangan pemeriksa fakta," kata Ketua Komite Litbang Mafindo, Nuril Hidayah, melalui siaran pers Mafindo ke media.
Teknologi kecerdasan buatan (AI) beberapa kali dipakai untuk memunculkan hoaks. Beberapa di antaranya, video deepfake pidato Presiden Jokowi dengan bahasa Mandarin, dan rekaman suara Anies Baswedan dan Surya Paloh.
"Tidak mudah mendapatkan kesimpulan apakah itu hoaks atau bukan.
Semua calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menjadi sasaran utama hoaks politik," kata Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho.
Hoaks yang mengarah ke sosok politik ada yang bernada positif (melebih-lebihkan kandidat), sebagian negatif (menyerang atau memfitnah kandidat).
Anies Baswedan menjadi kandidat paling banyak disebut dalam narasi hoaks. Sebanyak 206 hoaks bernada positif, dan 116 bernada negatif.
Ganjar Pranowo 63 positif, 73 negatif. Gibran Rakabuming Raka 12 positif, 74 negatif, Prabowo Subianto 28 positif, 66 negatif, Mohammad Mahfud MD 44 positif, 5 negatif, dan Muhaimin Iskandar 17 positif, 5 negatif.
Septiaji menyebut topik hoaks yang paling banyak ditemukan adalah dukungan/pengakuan kepada kandidat (33,%), isu korupsi (12.8%), dan penolakan terhadap kandidat (10.7%), dan karakter atau gaya hidup negatif kandidat (7.3%). Isu kecurangan pemilu sebesar 5% dan isu SARA 3,9%.(apr)