Kesehatan
News
Tahukah Kamu?

Apakah Keringat Berlebih Bisa Diturunkan dari Orang Tua?

Ilustrasi kedua tangan yang selalu keringatan, menandakan adanya hiperhidrosis. (freepick)

UNHAS.TV - Di ruang berpendingin di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (Unhas), dr Marhaen Hardjo MBiomed PhD menjelaskan sesuatu yang tampak sederhana namun kerap membuat penderitanya gelisah, ketika keringat berlebih di tangan.

“Ini bukan sekadar masalah sepele, karena bisa jadi faktor genetik ikut berperan,” ujarnya sambil tersenyum kepada Unhas TV.

Fenomena itu dikenal dalam dunia medis sebagai hiperhidrosis—kondisi ketika kelenjar keringat bekerja terlalu aktif, bahkan tanpa pemicu seperti suhu panas atau aktivitas fisik.

Keringat menetes bukan karena olahraga, tapi bisa saja saat hendak berjabat tangan atau menulis. “Kalau orang tua atau kerabat dekat mengalami hal serupa, anaknya berisiko mengalaminya juga,” kata Marhaen, yang juga Ketua Departemen Biokimia FK Unhas.

Ia menjelaskan, hiperhidrosis primer, atau yang muncul tanpa penyebab medis jelas, kerap diturunkan secara genetik. Biasanya mulai terasa sejak usia remaja, dan menetap hingga dewasa.

Meski tidak berbahaya, efek psikologisnya tidak bisa diremehkan. Banyak penderita merasa tidak percaya diri, terutama jika tangan atau ketiak mereka selalu basah di situasi sosial atau profesional.

Keringat berlebih umumnya menyerang area tertentu seperti telapak tangan, kaki, ketiak, atau wajah. Dalam tubuh manusia, kelenjar ekrin yang bertanggung jawab memproduksi keringat tersebar di seluruh permukaan kulit.


Ketua Departemen Biokimia Fakultas Kedokteran Unhas dr Marhaen Hardjo MBiomed PhD. (dok unhas tv)


Namun pada penderita hiperhidrosis, sistem saraf yang mengatur kelenjar ini terlalu sensitif, sehingga sinyal untuk “berkeringat” terus aktif bahkan saat tubuh tidak memerlukannya.

Selain faktor genetik, beberapa kondisi seperti stres emosional, konsumsi makanan pedas, atau gangguan hormon juga dapat memperburuk gejala. Marhaen menekankan pentingnya mengenali pencetus internal dan eksternal sebelum menentukan cara mengatasi.

“Jangan hanya fokus pada obat luar atau antiperspirant. Perlu dipahami pula apakah ada faktor keluarga atau metabolik yang berperan,” katanya. 

Penanganan hiperhidrosis kini semakin beragam. Mulai dari terapi iontophoresis (menggunakan arus listrik ringan pada tangan atau kaki), suntikan botulinum toxin (Botox) untuk menghambat kerja kelenjar keringat, hingga prosedur bedah kecil yang memutus saraf pemicu keringat berlebih.

Dalam kasus ringan, penggunaan bedak antiperspirant atau bahan alami seperti cuka apel dan daun sirih bisa membantu.

Artikel terkait dari jurnal Dermatologic Clinics (2023) menyebutkan, sekitar 30–50 persen kasus hiperhidrosis memiliki hubungan keluarga langsung, menandakan adanya faktor keturunan yang kuat.

Penelitian serupa dari National Institutes of Health juga menunjukkan gen tertentu pada kromosom 14 dan 2 berpotensi memengaruhi regulasi saraf simpatis yang mengendalikan produksi keringat.

Meski demikian, penderita tidak perlu cemas. Hiperhidrosis bukan penyakit menular dan dapat dikendalikan dengan terapi yang tepat.

“Yang paling penting adalah tidak malu mencari pertolongan medis. Karena memahami tubuh sendiri adalah langkah pertama menuju kenyamanan,” pesan Marhaen. 

Dalam banyak kasus, keringat berlebih memang tak bisa sepenuhnya dihapus. Namun dengan pendekatan medis dan kesadaran akan faktor keturunan, penderita bisa kembali menggenggam dunia tanpa takut basah. 

(Venny Septiani Semuel / Unhas TV)