News
Unhas Figure

Aulia Rahman Basri: Alumni Unhas yang Membawa Napas Baru ke Kutai Kartanegara

UNHAS.TV - Sore itu, di halaman posko pemenangan yang belum benar-benar kering dari hujan siang, layar proyektor menampilkan angka-angka yang terus bergerak. Suara-suara pelan berubah jadi gegap gempita. 

Semua hitung cepat (quick count) dari berbagai lembaga survei menyatakan satu hal: Aulia Rahman Basri dan Rendi Solihin unggul meyakinkan dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Kutai Kartanegara 2025.

Di tengah sorak dan pelukan yang mengaburkan batas antara harapan dan kenyataan, Aulia berdiri tenang. Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat. Tapi tatapannya jelas. 

Ia tahu, kemenangan hari ini bukan miliknya semata. Ini milik warga yang dulu hanya bisa mengantre di lorong puskesmas. Milik mereka yang menempuh berjam-jam dari kampung hulu hanya demi berobat.

Ia datang dari tempat yang sama dengan mereka. Kota Bangun, sebuah sudut yang setia pada aliran Mahakam, adalah tempat Aulia memulai langkah kecilnya. Ia mengenyam pendidikan di SD Negeri 003, lalu menapak SMA di Samarinda.

Tapi jalannya yang sesungguhnya terbuka saat ia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. Di sinilah benih idealisme itu tumbuh.

Setelah menyelesaikan pendidikan dokter dan magister administrasi rumah sakit di Unhas, Aulia pulang kampung. Di RSUD Dayaku Raja, ia tidak hanya mengambil peran sebagai direktur, tapi sebagai penggagas perubahan. Ia mendorong gagasan radikal yang belum pernah diterapkan di Kukar sebelumnya: rumah sakit tanpa kelas.

“Bukan hanya ruangan yang dibagi berdasar status ekonomi,” katanya dalam satu diskusi, “tapi juga pelayanan, waktu tunggu, dan perlakuan medis yang setara. Yang sakit, ya dilayani. Bukan ditakar dari berapa besar iuran BPJS-nya.”

Gagasan ini muncul dari kenyataan yang ia lihat sendiri: sistem rujukan yang lamban, pasien kelas tiga yang mengantre lebih lama, hingga keluarga pasien yang tidur di lantai rumah sakit karena tak mampu menyewa penginapan. Aulia lalu menggandeng puskesmas-puskesmas di sekitar untuk membangun jejaring rujukan cepat. 

Ia juga membangun rumah singgah bagi keluarga pasien dari daerah seperti Muara Muntai dan Long Iram. Sebuah layanan kecil yang mengubah wajah rumah sakit menjadi lebih manusiawi.

Konsep ini menarik perhatian kalangan akademik. Prof. Michael Marmot, ahli epidemiologi sosial dari University College London yang dikenal luas lewat kajiannya soal health equity, menyebut pendekatan rumah sakit tanpa kelas sebagai “model sistem pelayanan publik yang adil dan bermartabat.”

“Kesetaraan dalam akses layanan medis adalah indikator utama keadilan sosial,” ujar Marmot dalam salah satu kuliahnya yang mengkaji reformasi sistem kesehatan di negara berkembang.

“Apa yang dilakukan oleh pemimpin lokal seperti Aulia Basri bukan hanya inovatif, tapi menyentuh akar dari krisis kepercayaan masyarakat terhadap sistem layanan dasar.”

>> Baca Selanjutnya