oleh: Muliadi Saleh*
Dalam sejarah dirgantara modern, hanya sedikit ilmuwan yang namanya tidak sekadar tercatat dalam jurnal, tetapi hidup di setiap penerbangan yang selamat. Bacharuddin Jusuf Habibie adalah salah satunya.
Dunia mengenalnya bukan sebagai politikus, bukan pula sekadar teknokrat negara berkembang, melainkan sebagai Mr. Crack—ahli keretakan struktur pesawat yang kontribusinya menjadi fondasi keselamatan penerbangan global.
Julukan Mr. Crack bukan retorika media. Ia lahir dari pengakuan komunitas ilmiah internasional atas keahlian Habibie dalam fracture mechanics dan fatigue analysis.
Itu adalah cabang ilmu yang mempelajari bagaimana retakan mikro pada material logam berkembang di bawah beban berulang. Dalam dunia penerbangan, persoalan ini bersifat eksistensial. Satu retakan kecil yang diabaikan dapat menjelma bencana di ketinggian sepuluh ribu meter.
Pada dekade 1960–1970-an, industri dirgantara menghadapi krisis kepercayaan. Sejumlah kecelakaan besar—seperti kegagalan struktur pada pesawat bertekanan—menunjukkan bahwa pendekatan konvensional terhadap kekuatan material tidak lagi memadai.
Linear elastic fracture mechanics (LEFM) yang dominan kala itu belum cukup menjelaskan perilaku retakan dalam struktur pesawat yang kompleks,ison, multibeban, dan berumur panjang.
Habibie masuk ke ruang problematik itu dengan ketekunan seorang ilmuwan dan kegelisahan seorang humanis. Ia mengembangkan pendekatan komprehensif terhadap crack propagation, yang tidak hanya menghitung ukuran retak awal, tetapi juga memodelkan laju perambatannya di bawah berbagai spektrum beban penerbangan.
Inilah yang kemudian dikenal luas sebagai Habibie Factor—sebuah metode perhitungan yang memungkinkan insinyur menentukan damage tolerance secara presisi.
Pendekatan ini sejalan, bahkan melampaui, riset-riset besar dalam literatur dirgantara internasional seperti karya Paris & Erdogan (1963) tentang hukum perambatan retak, serta pengembangan lanjutan oleh Anderson (Fracture Mechanics: Fundamentals and Applications) dan standar keselamatan yang kemudian diadopsi oleh FAA (Federal Aviation Administration) dan EASA (European Union Aviation Safety Agency).
Kontribusi Habibie menjadi jembatan antara teori matematis dan realitas industri.
Di perusahaan-perusahaan besar seperti Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB) dan dalam kolaborasi dengan ekosistem industri Eropa—termasuk Airbus—temuan Habibie membantu membentuk paradigma baru bahwa pesawat tidak lagi dinilai hanya dari kekuatan awalnya, tetapi dari siklus hidup strukturnya.
Setiap lepas landas dan pendaratan dicatat sebagai bagian dari akumulasi kelelahan material. Keselamatan menjadi disiplin etis, bukan sekadar persoalan teknis.
Habibie memahami bahwa logam, ibarat manusia, memiliki batas toleransi. Ia lelah. Ia retak. Ia menua. Dan di situlah sains harus hadi. Bukan untuk memaksa batas, tetapi untuk mengenalinya dengan jujur.
Dalam banyak pidato ilmiahnya, Habibie menegaskan bahwa ketelitian bukan pilihan, melainkan keharusan moral. Satu kesalahan kecil dalam perhitungan dapat berarti ratusan nyawa melayang.
Dimensi etika inilah yang sering luput dibaca. Habibie bukan hanya ilmuwan presisi, tetapi pemikir keselamatan. Dalam tradisi filsafat teknologi modern—seperti yang dikemukakan Hans Jonas tentang ethics of responsibility—Habibie adalah contoh nyata ilmuwan yang menyadari konsekuensi jangka panjang dari temuannya.
Ia bekerja bukan untuk kejayaan pribadi, tetapi untuk masa depan umat manusia yang bergantung pada teknologi.
Ketika kembali ke Indonesia, Habibie membawa lebih dari sekadar ilmu. Ia membawa etos ilmiah global ke negeri yang lama ditempatkan sebagai pasar, bukan produsen teknologi.
Melalui IPTN (kini PT Dirgantara Indonesia), ia membangun ekosistem riset, standardisasi, dan budaya presisi. Pesawat N-250—dengan sistem fly-by-wire—menjadi simbol bahwa bangsa dari selatan khatulistiwa pun mampu berkontribusi pada diskursus teknologi tinggi dunia.
Habibie sering disalahpahami sebagai pemimpi. Padahal, ia justru sangat realistis. Ia tahu bahwa teknologi bukan soal kecepatan, melainkan konsistensi. Bukan soal loncatan besar, tetapi kesetiaan pada proses ilmiah. Ia menempatkan Indonesia dalam peta dunia bukan dengan retorika, melainkan dengan publikasi, paten, dan standar keselamatan.
Sebagai ilmuwan yang beriman, Habibie melihat hukum fisika sebagai ayat-ayat Tuhan yang terbentang di alam. Dalam refleksinya, ia menyebut bahwa membaca alam dengan benar adalah bentuk ibadah intelektual. Maka sains, baginya, bukan tandingan iman, melainkan jalur sunyi untuk mendekat pada kebenaran.
Hari ini, ketika jutaan manusia terbang setiap hari dengan tingkat keselamatan yang belum pernah setinggi ini dalam sejarah, kontribusi Habibie hadir tanpa suara. Ia bekerja dalam manual perawatan pesawat, dalam software analisis struktur, dalam prosedur inspeksi retakan yang menjadi standar internasional. Ia tidak hadir sebagai monumen, tetapi sebagai sistem.
Habibie telah wafat, tetapi Mr. Crack tetap hidup di langit dunia. Dalam setiap pesawat yang tidak gagal. Dalam setiap retakan yang terdeteksi sebelum bencana, dan dalam setiap nyawa yang selamat karena sains dikerjakan dengan tanggung jawab.
Ia mengajarkan satu hal penting kepada dunia. Bahwa kemajuan teknologi sejati bukanlah tentang seberapa tinggi manusia terbang. Tetapi seberapa sungguh-sungguh ia menjaga kehidupan di udara.
Dan di sanalah, nama B.J. Habibie akan selalu dikenang—sebagai ilmuwan, sebagai penjaga keselamatan, dan sebagai nurani sains modern.
*Penulis adalah esais reflektif





-300x186.webp)


