UNHAS.TV - Langit di atas Raja Ampat masih biru seperti biasa. Lautnya masih menyimpan limpahan biota yang memukau penyelam dari seluruh dunia.
Tapi di balik lengkung karang dan desir ombaknya, tanah-tanah pulau kecil mulai terluka. Dedaunan di punggung bukit terkulai, tercabik alat-alat berat yang datang bukan sebagai tamu, tapi sebagai perampas.
Di sisi lain Nusantara, ribuan kilometer dari lokasi tambang, dua suara dari Makassar mencoba menembus sekat digital.
Afifa Turrofiah dan Baiq Indar Pirayatu, mahasiswa dari Universitas Muslim Indonesia, tidak memegang spanduk di jalan, tidak mendobrak pintu kementerian, tapi mereka menyuarakan kegelisahan yang sama—melalui layar ponsel.
“Mulai saja dari hal kecil. Kalau kamu scroll dan lihat kabar tentang Raja Ampat, pause dulu sebentar. Share. Unggah ulang. Itu sudah bentuk perjuangan,” ujar Afifa.
Ia sadar, perubahan besar bisa bermula dari unggahan kecil. Dari fitur repost di story, dari komentar yang mengoreksi narasi yang keliru. Digital bukan sekadar ruang hiburan, tapi medan baru untuk membela yang tak bersuara.
Baiq menambahkan dari perspektif kesehatan masyarakat—tapi sorotannya justru ke cara berpikir generasi masa kini.
“FOMO itu bisa diarahkan ke hal baik. Kalau kamu bisa heboh ikut tren, kenapa tidak heboh membela Raja Ampat?” katanya.
Ia paham, tidak semua bisa datang langsung ke pulau-pulau yang jauh dan terpecah lautan itu. Tapi setiap jempol bisa mengetik kebenaran, bisa mengetuk hati orang lain. Dan yang paling penting, bisa mengetuk pintu kebijakan.
Di tengah konflik tambang yang menyebabkan pencabutan izin empat perusahaan di kawasan Raja Ampat, suara dari luar lokasi justru semakin penting.
Ketika ekosistem mangrove dan karang terancam sedimentasi, ketika warga lokal mulai khawatir kampungnya akan kehilangan daya hidup dari laut—suara-suara digital jadi gema yang memperkuat jeritan sunyi dari kampung-kampung pesisir itu.
Kampanye digital ini bukan sekadar gaya-gayaan. Ini bentuk pertahanan. Jika alam bisa bicara, mungkin ia akan berteriak. Tapi karena ia tak bersuara, maka pemuda lah yang harus bersuara untuknya.
Ketika pemerintah mengumumkan pencabutan izin empat perusahaan tambang di kawasan Raja Ampat—ASP, KSM, MRP, dan Nurham—banyak yang menyambutnya dengan lega.
Tapi kabar baik itu bukan akhir dari cerita. Greenpeace dan kelompok masyarakat sipil lainnya mempertanyakan kelanjutan izin PT Gag Nikel yang masih bertahan di tengah sorotan. Dugaan praktik korupsi dalam proses perizinan menambah kabut di balik kebijakan.
Alam telah memberi isyarat. Kampung-kampung pesisir mulai merasakan keruhnya laut yang dulu jadi sumber hidup. Terumbu karang mulai redup warnanya. Warga mulai khawatir, suara mereka terlalu lirih untuk didengar dari pusat.
Di titik ini, suara pemuda menjadi gema. Kampanye digital bukan lagi gaya hidup, tapi pertahanan. Bukan sekadar repost, tapi bentuk perlawanan terhadap perusakan yang diam-diam terus menggerogoti.
Jika Raja Ampat adalah surga terakhir, maka generasi ini adalah penjaga gerbangnya. Dan seperti kata Baiq, “Kita gak harus teriak di jalanan. Kadang, cukup dengan memilih untuk peduli, dan bersuara di ruang yang kita punya.”
(Rizka Fraja / Unhas.TV)