Travel

Casablanca: Cinta yang Tak Lekang oleh Waktu (1)

Oleh: Eka Sastra*

Semilir angin menyambut saat kaki menginjak lantai Mohammed V International Airport, bandar udara Kota Casablanca, di bulan April 2025 ini. Udara yang sejuk dan kehangatan pelayanan para petugas menghapus penat dari perjalanan jauh yang dimulai di Jakarta, dengan sejumlah transit sebelum akhirnya tiba di tanah Maroko. 

Lelah pun berganti sukacita saat melangkah ke dalam kota Casablanca yang indah. Dan kegembiraan itu kian membuncah saat kaki menapaki jalanan di tepi pantai yang memikat.

Lautan biru Samudera Atlantik bergelora, beradu dengan pesisir padang pasir yang seolah mempertemukan yang lama dan yang baru, tradisional dan modern, profan dan religius, Afrika dan Eropa, Timur dan Barat—beragam kompleksitas yang tak saling meniadakan, melainkan berpadu dalam harmoni yang tertata. 

Di kejauhan, di sepanjang garis pantai yang sama, tampak Masjid Hasan II menjulang anggun—besar, megah, dan sarat nilai arsitektur. Di sela bangunan kolonial tua dan pusat perbelanjaan modern, kokoh berdiri benteng bertabur meriam. Kesemuanya bersatu dalam panorama senja Maghribi yang temaram, saat matahari perlahan tenggelam di ufuk.



Sekilas, pemandangan ini mengisyaratkan keindahan kota dan keramahan warganya, serta sejarah panjang yang mengiringi. Namun, satu hal yang kerap luput dari ingatan: kota ini mengingatkan kita pada film Casablanca yang dirilis tahun 1942—kisah cinta getir, sarat luka dan pengorbanan, namun tak lekang oleh waktu. 

Cinta Rick Blaine kepada Ilsa Lund menjelma ikon, bukan hanya karena film ini meraih sukses box office dan tiga Piala Oscar dari delapan nominasi tahun 1944, tapi juga karena ia diakui sebagai salah satu film klasik terbaik sepanjang sejarah sinema dunia.

Getir cinta yang dituturkan dalam film ini menjadikan Casablanca—baik film maupun kota—sebagai simbol abadi tentang cinta dan keteguhan hati. Lagu tema “As Time Goes By” karya Herman Hupfeld turut menjadikannya abadi. Lagu ini telah diaransemen ulang oleh banyak musisi legendaris—Frank Sinatra, Louis Armstrong, Bob Dylan, dan lainnya.

Kota Cinta: Di Tengah Derita dan Pengorbanan

Casablanca bukan hanya kota dengan pemandangan memesona, tapi juga dengan riwayat sejarah yang panjang, penuh gejolak dan keteguhan. Berdasarkan temuan arkeologis seperti alat batu dan jejak permukiman prasejarah, kawasan ini telah dihuni sejak 7.000 tahun silam. Masyarakat awalnya hidup dari berburu, memancing, dan bercocok tanam secara sederhana.

Catatan sejarah mencatat kehadiran Casablanca sejak era suku Berber yang mendiami Afrika Utara. Mereka tidak hanya menetap, tapi juga berdagang—menjual hasil laut, kulit, dan produk pertanian.

Wilayah ini dikenal dengan nama "Anfa", yang berarti "tempat bersih". Letaknya yang strategis di pesisir Samudera Atlantik, dengan pelabuhan alami yang mampu disinggahi kapal kecil maupun besar, menjadikan Anfa sebagai pusat perdagangan maritim, penghubung antara Afrika, Eropa, dan Timur Tengah.

Perkembangan ini menarik perhatian pedagang dari Venesia dan Kartago, yang mulai menjadikan Anfa sebagai pos dagang. Pengaruh ekonomi, budaya, dan arsitektur Mediterania pun mulai mengakar. Kedatangan bangsa Romawi memperkuat warisan ini—bukan hanya dalam struktur kota, tapi juga dalam bentuk penguasaan wilayah. Nama Anfa, kini, dikenang sebagai salah satu distrik di Casablanca.

Pasca runtuhnya Kartago oleh Romawi (146 SM), wilayah utara Maroko—termasuk Anfa—masuk ke dalam pengaruh Romawi, meskipun tidak sepenuhnya menjadi provinsi resmi. Romawi memanfaatkan pelabuhan Anfa untuk mengekspor pewarna ungu yang berasal dari kerang laut—komoditas mewah pada masa itu.

Pada abad ke-7, Islam mulai menyebar ke wilayah Maroko melalui penaklukan Arab tahun 681 M di masa Kekhalifahan Umayyah. Seiring hadirnya Islam, wajah Anfa berubah. Masjid dan bangunan baru berdiri, dan kota pun tertata lebih rapi. Namun, posisi strategis dan kesuburan tanah membuat Anfa menjadi wilayah yang kerap diperebutkan, baik oleh kerajaan Islam maupun kekuatan asing lainnya.

>> Baca Selanjutnya