
Direktur YKL Indonesia Adi Zulkarnaen (kiri) saat tampil dalam program Unhas Green bersama host Dr Ir Rijal Idrus MSc di Studio Unhas.TV. (dok unhas.tv)
Itulah sebabnya YKL mencoba strategi berbeda—mengajak masyarakat untuk mengelola tangkapan secara bergilir melalui sistem "buka tutup" zona tangkap.
Sistem ini bukan hal lumrah bagi masyarakat nelayan Bugis-Makassar. Tradisi mereka adalah berburu: menangkap sebanyak mungkin saat laut sedang murah hati.
Maka pendekatan YKL tak dimulai dengan ceramah konservasi. "Kami tinggal bersama mereka, makan bersama, memancing bersama. Tidak datang dengan teori," kata Zul.
Kepercayaan menjadi pintu masuk. Setelah itu, barulah ide konservasi pelan-pelan diperkenalkan. Bahkan, YKL mengundang nelayan dari wilayah lain yang lebih dulu menerapkan sistem serupa untuk berbagi cerita. Dialog antar sesama nelayan lebih diterima ketimbang presentasi dari orang luar.
Setelah enam siklus buka tutup, hasilnya mulai terlihat. Dalam satu zona yang ditutup selama tiga bulan, gurita yang awalnya berukuran kecil bisa tumbuh dua kali lipat.
Ketika zona dibuka, nelayan hanya butuh waktu 1,5 jam untuk membawa pulang dua hingga tiga kilogram gurita per orang. Angka yang sebelumnya hanya bisa dicapai setelah berjam-jam melaut.
Lebih dari itu, konservasi juga membawa dampak ekologis. Penelitian YKL bersama mitra akademis menunjukkan bahwa terumbu karang di area yang ditutup mengalami pemulihan hingga 10 persen. Ikan-ikan kecil yang dulu menghilang, mulai kembali. Ekosistem pelan-pelan pulih.
Pulau Langkai dihuni oleh sekitar 100 nelayan aktif penangkap gurita, sementara di Lanjukang jumlahnya sekitar 30 orang.
Mereka berangkat dengan perahu kecil, menyusuri spot-spot yang telah ditentukan dan dijaga rotasinya. Seperti rotasi ladang, laut pun butuh waktu untuk bernafas.
Sistem ini bukan hanya tentang gurita. Di tengah proses itu, YKL juga melibatkan universitas, termasuk Universitas Hasanuddin. Akademisi turun langsung memberi pemahaman berbasis data ilmiah. Kolaborasi antara pengetahuan lokal dan sains modern menjadi landasan kuat bagi keberlanjutan.
Kini, Langkai dan Lanjukang menjadi semacam laboratorium hidup. Komunitas dari Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara mulai datang belajar.
Bagi YKL, keberhasilan bukan soal angka, tapi perubahan cara pandang masyarakat terhadap laut. Bahwa menjaga bukan berarti kehilangan, melainkan memastikan laut tetap memberi.
Dalam semua itu, gurita menjadi metafora yang sempurna: makhluk yang cerdas, lentur, dan mampu beradaptasi.
Seperti masyarakat pulau yang belajar dari laut, menyusun masa depan dari kebiasaan-kebiasaan baru yang lahir dari kedalaman pemahaman.
"Kami percaya, laut bukan milik siapa-siapa. Tapi ia adalah warisan untuk semua. Kalau tidak dijaga sekarang, anak-anak kita mungkin hanya akan mengenal gurita dari cerita," kata Zul.
Jauh dari pusat kota, di antara pasir putih dan riak ombak yang tenang, sebuah eksperimen konservasi sedang berlangsung.
Perlahan, tapi pasti, dari pinggir kota, Indonesia menuliskan ulang cara menjaga laut—bersama gurita, nelayan, dan harapan yang tumbuh dari pulau terdepan. (*)