Hiburan

Cinta yang Datang Setelah Luka: Sebuah Cerita tentang Luna Maya

oleh: Yusran Darmawan

Di sebuah kapel kecil nan teduh di pinggiran Pulau Dewata, Luna Maya berdiri dalam balutan gaun putih sederhana. Senyumnya lebar, matanya berkaca. 

Di sampingnya, Maxim menatap dengan penuh kasih, seolah ingin berkata kepada dunia: “Aku mencintainya, seluruhnya.” Di luar kapel, para tamu menyeka air mata. Bukan karena sedih, tapi karena haru yang dalam.

Pernikahan itu terasa seperti pelunasan yang lama ditunggu, seakan semesta akhirnya memberikan keadilan bagi kisah seorang perempuan yang terlalu lama ditempa prasangka dan luka.

Kita semua, entah kenapa, ikut bahagia. Seolah Luna adalah protagonis dalam cerita yang akrab: cerita tentang perempuan yang jatuh, lalu bangkit. Yang dipermalukan, lalu bersinar. Yang dihina, lalu mencintai dan dicintai.

Kita tahu, jalan menuju pelaminan itu tidak ditaburi bunga, tapi duri-duri panjang yang menggores harga diri. Dan justru karena itulah, momen itu terasa sakral. Seperti kemenangan diam-diam bagi banyak perempuan yang pernah dihukum karena menjadi diri sendiri.

Dulu, nama Luna Maya pernah terperosok ke titik nadir saat sebuah video pribadi beredar luas. Tak peduli siapa yang menyebarkan atau siapa yang bersalah, publik memilih menghakimi Luna.

Di negeri yang menyimpan moralitas di bibir tapi memuaskan syahwat lewat tautan gelap, Luna adalah korban yang dijadikan pelampiasan. Mereka tak hanya mencibir; mereka mengadili, menertawakan, bahkan mempermalukan.

Yang lebih menyakitkan, ketika video itu tersebar, orang-orang bukannya melindungi, tapi justru menonton. Bukannya melupakan, tapi menyebarkan.

Di sinilah letak hipokrisi: perempuan yang menjadi korban malah diminta menanggung beban moral sendirian. Padahal tindakan serupa—bahkan lebih brutal—seringkali dilakukan laki-laki tanpa konsekuensi sosial yang seberat itu.

Dan rasanya, kita semua tahu pedihnya dihakimi karena pilihan hidup yang sama sekali tak dianggap salah bila dilakukan laki-laki. Seorang ibu yang bekerja penuh waktu dianggap mengabaikan anak, sementara ayah yang sibuk dianggap sedang menunaikan tanggung jawab.

Perempuan yang merokok disebut bejat, sementara laki-laki yang minum tiap malam cuma dianggap “gaul”. Bahkan, sekadar punya banyak teman laki-laki, bisa jadi bahan cercaan: “piala bergilir”, “salome”, “pelacur”. Tapi laki-laki dengan daftar mantan panjang? Justru dielu-elukan sebagai “jantan”.

Namun Luna memilih diam dan berjalan. Dia tak menyangkal masa lalu, tapi juga tak membiarkannya mencabut masa depannya. Ia kembali ke layar kaca, membintangi film, merintis usaha, berdiri di hadapan kamera tanpa malu.

Di tengah desas-desus, dia tetap elegan. Dia tahu nilai dirinya tak ditentukan oleh satu kesalahan, apalagi oleh komentar anonim yang bersumber dari kebencian.

Dari luka itu, Luna membangun kekuatan.

>> Baca Selanjutnya