MAKASSAR, UNHAS.TV - Cuaca ekstrem kembali menjadi ancaman nyata di berbagai wilayah Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, intensitas hujan meningkat tajam, disertai angin kencang, banjir, hingga longsor.
Fenomena ini bukan sekadar anomali musiman. Ia merupakan gambaran dari deretan bencana hidrometeorologi, bencana alam yang lahir dari interaksi antara unsur air dan perubahan cuaca di atmosfer.
Menurut Ilham Alimuddin, S.T., M.Gis., Ph.D., Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin, hidrometeorologi dipengaruhi langsung oleh perubahan yang terjadi di atmosfer dan keterlibatan air.
“Kalau kondisi normal, air akan meresap ke tanah. Tapi yang kita hadapi sekarang berbeda,” ujarnya.
Interaksi air dan cuaca ekstrem inilah yang memicu banjir, longsor, dan angin puting beliung. Semua jenis bencana tersebut termasuk dalam kategori bencana alam yang telah diatur di dalam UU No. 24 tentang Penanggulangan Bencana.
Data bencana Indonesia selama 12 tahun terakhir memperlihatkan tren peningkatan yang terus berlanjut. Statistik resmi menunjukkan bahwa jumlah kejadian bencana bertambah setiap tahun.
Ilham menekankan bahwa hal ini tak terlepas dari karakter wilayah Indonesia yang kompleks. Negeri ini berada pada pertemuan tiga hingga empat lempeng tektonik besar yang terus bergerak dan saling bertabrakan.
“Kita ini digencet oleh beberapa lempeng besar, dan sekaligus dipengaruhi oleh dinamika global,” jelasnya.
Karena itu, Ilham menyebut Indonesia sebagai supermarket bencana, tempat hampir semua jenis bencana alam dapat terjadi.
Ilham kemudian mengambil kutipan dari BPBD Kota Makassar, yang menyebut Indonesia sebagai “laboratorium bencana”, sebuah ruang belajar besar di mana setiap peristiwa menjadi peluang untuk meneliti, memperbaiki mitigasi, meningkatkan literasi masyarakat, menguji sistem peringatan dini, dan membangun tata ruang yang lebih aman.
Dengan cara pandang ini, bencana bukan sekadar malapetaka, melainkan momentum untuk memperkuat kesiapsiagaan dan mengurangi korban.
Perbedaan karakter wilayah pun menentukan tingkat kerentanan suatu daerah. Wilayah Indonesia Barat, yang secara geologi lebih tua dan didominasi batuan sedimen, kini lebih sering mengalami longsor, terutama di Pulau Jawa.
Faktor manusia ikut berperan besar—padatnya pemukiman dan aktivitas di lereng-lereng rawan memperburuk situasi. Di sisi lain, Indonesia Timur masih memiliki aktivitas tektonik aktif, meski tingkat kerentanan sosialnya lebih rendah dibanding wilayah barat.
Untuk Sulawesi Selatan, ancaman datang dari berbagai arah: dataran rendah rentan banjir, pesisir menghadapi banjir rob dan angin puting beliung, sementara kawasan pegunungan rawan longsor.
Pusat Studi Kebencanaan Unhas telah menyusun berbagai peta potensi bahaya yang digunakan untuk mengidentifikasi risiko ini.
Ilham menjelaskan bahwa perubahan iklim global memperberat seluruh kondisi tersebut. Semakin panasnya suhu bumi meningkatkan penguapan, dan tingginya penguapan berpengaruh langsung terhadap curah hujan.
Akibatnya, cuaca menjadi tidak menentu: tiba-tiba panas, lalu hujan deras. Perubahan tekanan udara pun membuat wilayah-wilayah tertentu lebih cepat mengalami cuaca ekstrem. Ia menambahkan bahwa aktivitas manusia memperburuk daya serap tanah.
“Sekarang rata-rata tempat kita beraktivitas sudah menjadi beton, tertutup bangunan. Air jadi tidak tahu harus meresap ke mana,” ujarnya.
Dalam konteks kebencanaan, Ilham menyoroti pentingnya memahami bahwa penanganan bencana tidak hanya dilakukan saat kejadian berlangsung. Bencana memiliki tiga tahapan: sebelum, terjadi, dan setelah.
Namun masyarakat sering kali hanya fokus pada fase ketika bencana sudah terjadi. “Kita kebakaran jenggot saat bencana datang. Ini mindset yang mesti diubah,” tegasnya. Kesiapsiagaan masyarakat dapat mengurangi jumlah korban secara signifikan.
Ia menyebut contoh ilmiah yang sederhana: ketika hujan turun dan tiba di permukaan tanah, idealnya air meresap melalui vegetasi. Namun bila lereng telah terbuka tanpa tanaman, air akan meluncur dengan kecepatan tinggi.
Bila daerahnya datar, air akan menggenang. Tanpa penahan tanah, tekanan pori meningkat dan memicu longsor. Ilham mengingat kejadian longsor di Luwu tahun lalu.
Timnya ikut membantu evakuasi, dan ia menegaskan bahwa pemahaman tentang kondisi tanah sangat penting sebelum mendirikan bangunan.
“Kita jangan membangun perumahan di tempat resapan. Air tidak tahu mau meresap ke mana,” jelasnya. Pembukaan lahan di lereng dan hilangnya vegetasi juga kerap menjadi penyebab utama longsor dan banjir.
Dua Bentuk Mitigasi
Ilham kemudian menguraikan dua bentuk mitigasi. Mitigasi struktural adalah pendekatan fisik: pembangunan tanggul, penahan ombak, atau infrastruktur lain yang dirancang mengurangi dampak bencana.
Sementara mitigasi non-struktural meliputi penanaman pohon, peningkatan literasi bencana, serta edukasi publik.
Ia menekankan bahwa edukasi seperti yang dilakukan bersama Unhas TV penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. “Literasi bencana kita masih kurang. Semua stakeholder pentahelix harus berperan,” ujarnya.
Salah satu dokumen penting dalam penanganan bencana adalah Kajian Risiko Bencana (KRB). Dokumen ini wajib disediakan pemerintah daerah karena telah menjadi amanah undang-undang.
Di dalamnya terdapat peta-peta daerah rawan, termasuk potensi banjir, longsor, patahan aktif, dan karakter geologi lain. Meski begitu, Ilham mengakui implementasinya belum maksimal.
Banyak daerah belum memiliki dokumen tersebut, sehingga perencanaan ruang tidak selalu berbasis risiko bencana. “Aturan sudah ada, tapi implementasinya belum maksimal,” katanya.
Pusat Studi Kebencanaan Unhas sendiri telah membantu banyak daerah, termasuk Sulselbar dan Papua, dalam menyusun peta kajian kebencanaan yang menjadi dasar pembangunan di wilayah tersebut.
Di era teknologi, mitigasi semakin terbantu oleh berbagai sistem. Ilham menjelaskan bahwa penggunaan GIS, data BMKG, dan satelit Himawari dari Jepang memperkuat kemampuan pemantauan bencana.
Unhas juga tengah mengembangkan dan memasang early warning system di hulu sungai dan wilayah rawan banjir, termasuk di Makassar. Sistem tersebut mampu memberikan sinyal ketika muka air sungai naik, sehingga masyarakat dapat melakukan evakuasi lebih cepat.
Ia menambahkan bahwa tanda-tanda awal bencana sebenarnya dapat diamati oleh masyarakat. Retakan pada bangunan, munculnya mata air baru di lereng, atau curah hujan yang terus menerus harus menjadi sinyal kewaspadaan.
Mengedukasi anak muda pun penting, karena kelompok ini sering kurang awas terhadap perubahan lingkungan. “Air mulai banyak, bah, itu harus hati-hati,” katanya.
Sulawesi Selatan menjadi provinsi pertama dan satu-satunya yang memiliki muatan lokal kebencanaan sejak 2022. Guru-guru telah mendapatkan pelatihan langsung dari Pusat Studi Kebencanaan Unhas. Ilham melihat upaya ini sebagai bagian penting membangun budaya sadar risiko sejak dini.
Peran pemerintah daerah juga krusial. Program-program seperti Desa Tangguh Bencana dan Kelurahan Tangguh Bencana menjadi wadah pelibatan masyarakat dalam kesiapsiagaan.
Menurut Ilham, meski bencana semakin meningkat, jumlah korban bisa terus ditekan jika mitigasi dilakukan secara menyeluruh. Yang dibutuhkan bukan sekadar peta, tetapi tindakan nyata dan keseriusan pembangunan.
Ia mencontohkan, “Ada tanggul yang dibuat tapi setahun dua tahun longsor lagi. Pemerintah harus serius, berkaca pada negara maju di mana penanganan bencana dilakukan dengan sungguh-sungguh.”
Menjelang puncak musim hujan, Ilham memberikan pesan bagi masyarakat dan pemerintah. Untuk masyarakat, hal paling sederhana adalah menjaga saluran air.
“Kalau saluran masih mampet, itu pasti berubah jadi genangan. Kalau drainase bagus, insyaallah tidak akan tergenang,”
Untuk pemerintah, ia menegaskan pentingnya edukasi dan infrastruktur yang tepat. “Peran kita masing-masing adalah mengedukasi masyarakat dan membangun sistem mitigasi yang benar.”
Ia menutup dengan sebuah pernyataan yang sederhana namun kuat: “Hujan tidak bisa kita lawan, tapi dengan payung kita bisa lewati.”
(Rizka Fraja / Unhas.TV)
Kepala Pusat Studi Kebencanaan Unhas Ilham Alimuddin usai tampil dalam program siniar Unhas Speak Up. (dok unhas tv)








