UNHAS.TV - Di tengah rutinitas kampus yang sibuk, studio Unhas TV tampak lengang namun penuh makna pada siang itu. Dalam rangka peringatan Hari Hemofilia Sedunia, seorang tamu istimewa duduk tenang di kursi narasumber.
Jas putih membalut tubuhnya, dan suaranya mengalir mantap saat memperkenalkan topik yang kerap terlupakan: hemofilia. Ia adalah Dr. dr. Tutik Harjianti, Sp.PD, KHOM, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
“Yang diwariskan bukan cuma harta atau utang, tapi juga penyakit,” ujarnya dengan nada datar namun penuh bobot. Hemofilia, katanya, adalah penyakit kelainan pembekuan darah yang diturunkan lewat kromosom X.
Ini bukan penyakit yang muncul karena pola hidup atau infeksi—melainkan bawaan genetik, dan paling sering diderita oleh laki-laki.
Selama ini, kata Tutik, banyak calon pasangan hanya disarankan memeriksa HIV sebelum menikah. Padahal, hemofilia tak kalah penting untuk disadari sejak awal. “Kalau sudah cinta, dan salah satu pembawa gen hemofilia, maka harus ada komitmen. Bisa saja alternatifnya adalah adopsi,” ujarnya.
Pernikahan, dalam pandangannya, bukan sekadar pengikat dua individu, tapi juga awal dari garis keturunan. Dan di dalam darah keturunan itu, bisa mengalir kemungkinan yang tak semua orang siap menanggungnya.
Penyakit ini memang tak selalu terlihat sejak bayi. Hemofilia berat bisa menampakkan diri sesaat setelah lahir—dengan lebam atau pembengkakan pada lutut saat bayi mulai merangkak. Tapi ada pula yang baru menyadarinya setelah sunat atau cabut gigi, ketika pendarahan tak kunjung berhenti.
"Sering kali orang tua kaget," kata Tutik. "Anaknya habis sunat, pulang dari dokter masih baik-baik saja. Tapi malam harinya, bantal penuh darah. Itu khas hemofilia."
Ia menyebut fenomena ini sebagai delayed bleeding, pendarahan yang muncul terlambat karena tubuh hanya mampu menahan sumbatan sementara melalui trombosit. Begitu sumbatan itu hilang, darah kembali mengalir.
Tutik menjelaskan bahwa ada tiga jenis hemofilia yang dikenal saat ini—A, B, dan C—dengan perbedaan utama pada faktor pembekuan yang kurang. Hemofilia A adalah kekurangan faktor pembekuan VIII, jenis yang paling umum.
Hemofilia B kekurangan faktor IX, sedangkan Hemofilia C—yang sangat jarang—melibatkan faktor XI.
Namun dari sisi gejala, ketiganya sulit dibedakan. "Semua bisa mengalami lebam berlebihan, terutama pada hemofilia ringan yang sering tidak terdeteksi. Kebentur sedikit saja bisa menyebabkan memar besar," ujarnya.
Mendiagnosis hemofilia ringan memang tidak mudah. Banyak orang mengabaikan gejala karena dianggap hal biasa. Tapi bagi seorang anak yang mewarisi gen ini, kelalaian bisa berakibat fatal.
Karena itu, menurut Tutik, skrining sejak bayi, bahkan sejak dalam kandungan, adalah langkah penting. "Kalau seorang ibu diketahui pembawa, dan anaknya laki-laki, bisa langsung diperiksa lewat darah tali pusat," jelasnya.
Namun langkah ini tak banyak dikenal publik. Edukasi pranikah, menurut Tutik, seharusnya mencakup skrining hemofilia, bukan hanya penyakit menular seksual. Ia menyebutnya sebagai bagian dari "kesadaran keluarga masa depan."
Bagi mereka yang telah terdiagnosis, pengobatan kini tersedia dalam dua bentuk: terapi profilaksis dan terapi kausatif. Terapi profilaksis diberikan secara rutin sebelum pendarahan terjadi, untuk menjaga kualitas hidup. Sedangkan terapi kausatif diberikan saat pendarahan sudah terjadi—dengan risiko yang lebih besar.
“Kalau sudah pendarahan di sendi, bisa cacat permanen,” tutur Tutik. “Kalau sudah terlanjur, kadang anak-anak ini tak bisa jalan lagi. Fisik mereka tak memungkinkan untuk pekerjaan tertentu.”
Ia menegaskan pentingnya komunitas dalam mendampingi pasien hemofilia. Di Makassar, komunitas Hemofilia sudah terbentuk dan aktif memantau anggotanya. Para penderita diklasifikasikan ke dalam kategori ringan, sedang, dan berat. Mereka yang berat dihubungi secara rutin dan diimbau datang untuk terapi rutin.
“Kita tak ingin mereka cacat. Kita ingin mereka tetap bisa bekerja, jadi pegawai bank, jadi guru, jadi camat. Hidup tetap punya harapan,” ucapnya.
Sayangnya, tak semua penderita tinggal di kota besar. Banyak yang harus menempuh jarak jauh untuk mendapatkan terapi. Untuk mengatasi hal ini, Fakultas Kedokteran Unhas telah menyiapkan program pelatihan singkat bagi dokter penyakit dalam yang disebut IVO—untuk memperluas jaringan pelayanan hingga ke pelosok.
“Karena penyakit ini seumur hidup. Kita harus siapkan sistem yang berkelanjutan,” katanya.
Beruntung, di tengah segala keterbatasan, BPJS Kesehatan hingga kini masih menanggung seluruh biaya pengobatan hemofilia. “Kalau tidak ditanggung, entah bagaimana nasib mereka,” ucap Tutik. Ia menyebut harga faktor pembekuan yang mahal membuat akses terhadap pengobatan hanya mungkin dengan dukungan negara.
Ketika diminta menyampaikan pesan untuk generasi muda, dr. Tutik tak ragu menekankan pentingnya edukasi dan deteksi dini. “Kalau kamu punya riwayat keluarga hemofilia, jangan tunda. Periksa dirimu. Kalau ingin menikah, jangan hanya tanya apakah dia HIV negatif—tapi juga apakah dia pembawa hemofilia.”
Dalam diam studio, kalimat itu menggema lebih dari sekadar nasihat medis. Ia adalah seruan untuk peduli pada masa depan, bukan hanya pada cinta hari ini. Karena penyakit, tak seperti asmara, tak mengenal kompromi. Dan dalam tubuh seorang anak kelak, ada darah yang tak hanya mewarisi kasih, tetapi juga risiko.
Hemofilia memang bukan akhir. Tapi ia bisa jadi titik awal untuk berpikir lebih jauh, lebih dalam, dan lebih bijak tentang hidup yang sedang kita bangun bersama.