UNHAS.TV - Perjalanan hidup Prof Dr Tasrifin Tahara MSi mengalir seperti narasi antropologi yang ia tekuni selama ini. Dari seorang anak yang tumbuh besar di Benteng Wolio, Kesultanan Buton, hingga akhirnya dikukuhkan sebagai Guru Besar Antropologi Kekuasaan di Universitas Hasanuddin (Unhas).
Sebuah pencapaian yang tak hanya membanggakan dirinya, tetapi juga menjadi inspirasi bagi banyak orang. Terutama dalam bidang kebudayaan dan khususnya untuk generasi Z yang kian jauh dari akar budaya mereka.
Selasa (18/2/2025), di Ruang Senat Lantai 2 Rektorat Unhas, Prof. Tasrifin resmi menyandang gelar Guru Besar. Namun, di balik toga akademiknya, tersimpan kisah hidup yang penuh dengan refleksi budaya dan perjuangan.
Bagi pria kelahiran 23 Agustus 1975 ini, antropologi kekuasaan bukan sekadar teori, tetapi juga cerminan dari perjalanan hidup yang telah ia jalani.
“Sebenarnya kepakaran saya di antropologi kekuasaan adalah sebuah narasi tentang kehidupan masa lalu saya, yang saya jalani sebagai life story dalam antropologi,” ujar Ketua Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas ini dalam pidato pengukuhannya.
Tasrifin kemudian berkisah tentang Benteng Wolio, tempat ia dibesarkan di Kota Baubau, Pulau Buton. Bangunan bersejarah ini bukan hanya benteng fisik terbesar di dunia yang menjadi warisan budaya, tetapi juga benteng nilai dan kearifan yang membentuk cara pandangnya tentang kekuasaan.
Ia menyaksikan sendiri bagaimana warisan Kesultanan Buton sebagai negara maritim memainkan peran dalam dinamika sosial dan politik masyarakatnya.
“Saya hanya seorang anak yang lahir dan besar dalam kawasan Benteng Wolio, yang hari ini menjadi benteng terluas di dunia sebagai warisan budaya,” tuturnya dengan penuh kebanggaan.
Ketertarikannya pada antropologi kekuasaan pun tumbuh dari sana. Dari balik benteng yang dibangun pada abad ke-16 oleh Sultan Buton III itu, Ia melihat kekuasaan bukan sekadar sesuatu yang bersifat formal, tetapi juga hadir dalam berbagai interaksi sosial dan budaya.
Pengaruh Michel Foucault dalam pemikirannya semakin menguatkan keyakinannya bahwa kebudayaan material dalam suatu masyarakat dapat mengungkap relasi kuasa yang tersembunyi.
“Dalam konteks kekuasaan, Kesultanan Buton meneguhkan posisinya sebagai negara maritim dalam kontestasi global," ucap Tasrifin dalam orasinya.
"Ini sejalan dengan Teori Kekuasaan Michel Foucault, bahwa kebudayaan material dalam masyarakat tertentu saya gunakan sebagai panduan untuk mengungkap relasi kuasa dalam kajian kebudayaan,” jelas Atase Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia untuk Timor Leste ini.
Baginya, kekuasaan tidak hanya ada dalam pemerintahan atau institusi resmi, tetapi juga dalam negosiasi sehari-hari, dalam ruang-ruang kehidupan yang sering kali luput dari perhatian.
Pemahaman inilah yang kemudian mendorongnya untuk mendalami antropologi lebih jauh, menjadikannya sebagai landasan akademik yang ia ajarkan kepada generasi muda.
Kini, dengan pengukuhan sebagai Guru Besar, Prof. Tasrifin Tahara menegaskan bahwa perjalanan hidupnya adalah bukti bahwa setiap orang, dari latar belakang apa pun, memiliki kesempatan untuk meraih sukses.
Dari Benteng Wolio yang penuh sejarah hingga ruang akademik Unhas, ia membuktikan bahwa ilmu pengetahuan adalah jembatan yang bisa mengantarkan siapa pun ke puncak pencapaian.
Sebuah kisah inspiratif yang tak hanya mengangkat perjalanan pribadi, tetapi juga menghidupkan kembali warisan budaya dalam kajian akademik yang lebih luas. (*)
(Amina Rahma Ahmad/Zahra Tsabitha Sucheng/UnhasTV)