Budaya

Perjuangan Sunyi Masyarakat Adat di Sulawesi, AMAN: Kami Bukan Masa Lalu

UNHAS.TV Waktu menunjuk pukul 09.45 Wita saat Muhammad Asri menjejakkan kaki di studio Unhas TV di Kampus Unhas Tamalanrea, Makassar.

Tak tampak lelah di wajahnya meski ia semalaman berkendara dari Luwu. Mengenakan kemeja berwarna gelap, mengenakan 'Passapu' dan berlogat Bugis kental, Asri memperkenalkan dirinya pelan: “Saya Kepala Biro Advokasi AMAN Wilayah Sulawesi Selatan.”

AMAN, akronim dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, adalah organisasi payung yang mewakili suara jutaan masyarakat adat dari Aceh hingga Papua.


Lembaga ini dibentuk pada 17 Maret 1999 di Jakarta, sebagai respons atas marjinalisasi sistematis terhadap komunitas adat, terutama setelah Orde Baru menekan segala bentuk kemandirian di luar negara. 

Di bawah payung Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Muhammad Asri mengorganisir ratusan komunitas adat untuk merebut kembali hak mereka atas tanah, hutan, dan sejarah. Tapi hingga kini, undang-undang yang mereka tunggu tak kunjung lahir.

Kini, AMAN menaungi lebih dari 2.500 komunitas adat dengan estimasi 40–70 juta jiwa. Dari total itu, 171 komunitas berada di Sulawesi Selatan—144 di antaranya tersebar di Tanah Luwu, daerah yang masih mempertahankan sisa-sisa peradaban lokal yang lestari.

Mereka hidup dalam sistem adat, mengenakan hukum adat, dan mengelola wilayah adat mereka dengan kearifan turun-temurun.

“Definisi masyarakat adat itu bukan sekadar mereka yang tinggal di kampung dan pakai sarung,” ujar Asri dalam program siniar #UnhasGreen bersama host Dr Rijal Idrus.

“Mereka adalah komunitas yang punya sejarah asal-usul yang panjang, wilayah adat, hukum adat, dan kearifan lokal yang masih dipegang,” ujarnya mantap.

Namun hidup sebagai masyarakat adat di negeri ini, ujar Asri, bukan perkara mudah. Dalam banyak kasus, keberadaan mereka tak hanya dilupakan, tapi juga dianggap mengganggu.

Hingga kini, belum ada satu pun Undang-Undang Masyarakat Adat yang resmi diundangkan oleh negara, meskipun sudah lebih dari satu dekade wacana itu bergulir di DPR.

“(RUU Masyarakat Adat) Sudah masuk Prolegnas sejak 2012,” kata Asri. “Tapi sampai dua periode pemerintahan berlalu, tak juga dibahas serius.”

Ketiadaan regulasi membuat komunitas adat rentan kriminalisasi. Mereka yang mencoba menanam di tanah warisan leluhur bisa ditangkap aparat. Mereka yang mengambil hasil hutan tempat tinggalnya bisa dijerat pasal pencurian.

“Terdapat 925 komunitas adat yang mengalami diskriminasi. 60 di antaranya menghadapi kekerasan langsung,” ujar Asri. “Padahal tanah itu milik mereka jauh sebelum negara ini ada.”

Membalik Arus Sejarah

>> Baca Selanjutnya