
Kepala Biro Advokasi AMAN Wilayah Sulawesi Selatan Muhammad Asri. (dok Unhas.TV)
AMAN tak hanya bicara di panggung politik. Organisasi ini aktif melakukan pemetaan wilayah adat secara partisipatif. Dalam laporan terakhir mereka, sudah ada 86 komunitas di Sulawesi Selatan yang wilayah adatnya dipetakan dengan luas total mencapai 633 ribu hektare.
Dari situ, 21 komunitas telah resmi diakui pemerintah. Hasilnya, mereka menerima SK pengelolaan atas 176 ribu hektare wilayah adat, termasuk 4.636 hektare hutan adat yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menurut Asri, pencapaian ini penting karena menumbuhkan kesadaran di kalangan masyarakat adat sendiri bahwa mereka punya hak.
“Dulu mereka minder, merasa sudah dilupakan. Sekarang mereka bangkit, mereka tahu bahwa ada hukum yang bisa mereka perjuangkan,” ucapnya.
Namun pengakuan formal itu baru awal. Tanpa Undang-Undang Masyarakat Adat, setiap komunitas masih bisa dihapus dengan satu keputusan pemerintah, apalagi jika lahan adat mereka masuk dalam konsesi tambang, perkebunan, atau proyek strategis nasional.
Asri sadar betul bahwa perjuangan ini masih panjang. Ia menyebut gerakan masyarakat adat sebagai perjuangan dua sisi: subjek dan objek.
Subjek berarti keberadaan mereka sebagai manusia dengan identitas dan budaya. Objek merujuk pada tanah dan ruang hidup mereka. Keduanya kini masih rapuh di mata hukum negara.
Karena itu, Asri dan koleganya di AMAN tak hanya mengadvokasi komunitas di lapangan. Mereka juga menyusun draf regulasi, melobi pemerintah daerah, dan membangun jejaring solidaritas antarwilayah.
"Kami ini bukan romantisme masa lalu," tegas Asri. "Kami adalah penjaga masa depan, yang masih bertahan di tanah yang kami sebut ibu."
Penjaga Hutan, Penjaga Republik
Di tengah krisis iklim dan kerusakan lingkungan, komunitas adat sebenarnya adalah pelindung benteng terakhir.
Kajian global menunjukkan bahwa wilayah adat yang diakui secara hukum lebih mampu menjaga hutan dan keanekaragaman hayati ketimbang kawasan konservasi negara.
Satu contoh adalah masyarakat Suku Kajang di Kabupaten Bulukumba. Mereka menjaga hutan tetap hijau dan lestari tanpa gangguan tangan manusia.
“Kalau negara benar-benar serius ingin menyelamatkan lingkungan, akui dulu hak masyarakat adat,” kata Asri.
Di akhir wawancara, suara Asri merendah, tapi matanya tetap menatap kamera. "Kami bukan mau mengambil milik orang lain. Kami hanya ingin yang menjadi hak kami dikembalikan," ujarnya.
Rekaman berakhir. Kamera dimatikan. Lampu studio ditemaramkan. Tapi perjuangan masyarakat Adat itu masih menyala—di lorong-lorong hutan, di kebun-kebun lereng gunung, dan di suara-suara yang terus menggaungkan satu hal bahwa mereka bukan sisa sejarah, tapi bagian dari masa depan Indonesia. (*)