Unhas Story

Dari IPA ke Intelijensia, Awalnya Lihat-lihat di Instagram Akhirnya Jadi Ikon Remaja Makassar




Puteri Remaja Intelegensia Kota Makassar 2025 - Dini Syafira (dok unhas.tv)


Di luar kampus, Syafira juga menjajal panggung berbeda: ajang pemilihan Putra Putri Remaja Kota Makassar. Ini pertama kalinya ia ikut kontes duta, dan langsung menyabet gelar Putri Remaja Inteligensia.

“Awalnya cuma lihat teman-teman di Instagram ikut duta ini-itu. Jadi saya penasaran,” akunya.

Syafira mengaku sempat minder. Finalis lain terlihat lebih siap, lebih anggun, dan lebih berpengalaman. Tapi ia punya prinsip yang ia pegang kuat: kalau sudah memulai, harus diselesaikan.

“Banyak baca, banyak riset isu remaja di Makassar. Saya pelajari kasus-kasus kayak bullying, kekerasan seksual, hamil di luar nikah, terus saya coba pikirkan solusinya.”

Jawaban-jawabannya soal isu remaja itulah yang membuatnya menonjol. Di antara aspek penilaian seperti brain, beauty, dan behavior, Syafira mencuri perhatian dewan juri lewat wawasan dan solusi konkret yang ia sampaikan.

Kini, setelah dinobatkan sebagai Putri Remaja Inteligensia, Syafira merasa membawa tanggung jawab baru.

Ia tak bisa hanya jadi “mahasiswa biasa” lagi. Setiap tindak-tanduknya menjadi contoh. Tapi ia tak merasa terbebani.

“Justru saya ingin menyampaikan pesan ke teman-teman remaja, terutama yang sering merasa insecure: jangan takut untuk mencoba,” ujarnya tegas.

Salah satu pengalaman yang menurutnya paling berkesan adalah saat ia ikut dalam program Parlemen Kampus, kerja sama antara FISIP Unhas dan DPR RI.

Dalam kegiatan itu, para mahasiswa memainkan peran sebagai anggota dewan dalam simulasi pembentukan undang-undang.

“Waktu itu kasusnya soal revisi UU ITE. Kita dibagi jadi fraksi-fraksi dan harus menyusun argumen seperti sidang beneran,” katanya antusias.

Ia menyebut pengalaman ini sebagai semacam “pemanasan” untuk masa depan. “Ya, siapa tahu lima tahun lagi saya beneran duduk di parlemen,” ucapnya sambil tersenyum yakin.

Menurutnya, banyak anak muda yang tidak menyadari potensinya hanya karena belum pernah mencoba. Ia berharap perjalanannya—dari IPA ke ilmu politik, dari mahasiswa biasa ke ikon remaja—bisa jadi inspirasi kecil.

Dini Syafira masih duduk di semester empat. Tapi jejaknya di dunia aktivisme kampus, organisasi, debat, hingga panggung remaja sudah membentang luas. Ia tak hanya sibuk dengan teori dalam buku-buku politik, tapi juga tekun menerapkannya di kehidupan nyata.

Seperti dikatakannya sendiri, “Teori di kelas itu penting, tapi kenyataan di lapangan sering jauh lebih dinamis. Dan saya ingin ada di titik temu antara keduanya.” (*)