UNHAS.TV - Di balik sorotan lampu panggung malam penganugerahan Duta Remaja Sulawesi Selatan 2025, 12-16 Juni lalu, berdiri sosok muda yang tak biasa. Bukan model, bukan selebritas.
Dialah Akhdan Nur Syauki, mahasiswa semester dua Program Studi Sastra Arab Universitas Hasanuddin. Dengan balutan selempang dan sorot mata teduh khas santri, Ahdan mengubah persepsi publik tentang apa artinya menjadi “duta”.
Ia berdiri gagah di panggung, bukan karena paras, tetapi karena kapasitas. Bukan sekadar lantang bicara, tapi karena gagasannya.
Dalam pidato kemenangannya, ia tidak berbicara soal ketampanan, tetapi soal digitalisasi budaya dan tanggung jawab remaja sebagai generasi pembawa peradaban.
Ahdan di sela kesibukannya sebagai mahasiswa, penghafal 10 juz Al-Qur’an, aktivis organisasi, dan anggota Paduan Suara Mahasiswa, membagikan kisah perjalanannya dalam program siniar Unhas Story.
“Remaja adalah masa depan bangsa. Maka mereka harus terus meningkatkan kapasitas dirinya,” ujarnya mantap.
Ahdan bukan remaja biasa. Ia datang dari latar pesantren, tempat di mana malam-malam panjang tidak dihabiskan untuk menonton layar, tetapi mengulang hafalan Al-Qur’an.
“Kami tidur jam sebelas, lalu bangun tengah malam untuk menambah hafalan. Subuh, disetorkan,” kenangnya tentang hari-hari di Pondok Pesantren Multidimensi Al Fakhriah, Makassar.
Dengan dasar itulah Ahdan membangun karakter. Bagi dia, pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, tetapi ruang pembentukan jiwa—keikhlasan, kedisiplinan, dan tanggung jawab.
Masuk ke dunia kampus adalah kejutan tersendiri baginya. Latar belakang pesantren membuatnya sempat merasa “culture shock” saat mulai belajar linguistik Arab di Universitas Hasanuddin.
“Di pesantren saya belajar nahwu dan sharaf. Tapi di kampus saya harus paham morfologi, sintaksis, fonologi—ilmu yang jauh lebih luas,” ujarnya.
Namun, semangat belajarnya tak surut. Ia justru terpacu. Ketika banyak mahasiswa masih mencari ritme kuliah, Ahdan sudah mantap menoreh prestasi.
Ia kini aktif di berbagai organisasi, termasuk menjadi Ketua Unit Keilmuan HMI Komisariat Unhas. Bahkan, IPK-nya hingga kini masih sempurna: 4.00.
Lalu, bagaimana seorang santri bisa tiba-tiba menyelami dunia pageant yang identik dengan penampilan dan panggung?
“Saya penasaran,” jawabnya singkat sambil tersenyum. “Saya kira jadi duta harus ganteng dan fashionable. Tapi ternyata bukan itu ukurannya.”
Menurutnya, dunia pageant remaja hari ini sudah mulai bergeser. Penilaian lebih diarahkan ke kapasitas intelektual, kepercayaan diri, dan kontribusi sosial.
“Saya kuat di public speaking. Pernah ikut lomba pidato bahasa Indonesia, Arab, Inggris. Itu yang membuat saya berani,” ucap Ahdan.
Advokasi Bertajuk Cultural Digitalization
>> Baca Selanjutnya