
Sunset di Kota Ambon
Puluhan tahun setelah nenek moyangnya terusir, Kevin Diks Bakarbessy berdiri di tengah lapangan, menyanyikan Indonesia Raya. Ia tak memegang senjata, tak menuntut pengakuan lewat jalur perlawanan. Ia memilih cara lain: sepak bola.
Melalui sepak bola, dia dan sesama keturunan Ambon lainnya hendak mencuci semua luka-luka sejarah. Kolonialisme memang kejam, memisah satu keluarga dengan kampung halamannya.
Dulu, nenek moyangnya meninggalkan tanah air untuk hidup yang lebih baik, tapi mereka juga tak benar-benar diterima di Belanda. Namun, sejarah adalah sesuatu yang hidup. Ia bisa berubah, bisa diperbaiki.
Dengan seragam merah putih, Kevin kembali menjadi orang Maluku yang bangga membela tanah Indonesia. Ada rasa bahagia setelah sekian puluh tahun merasa terkucil. Ia ingin menunjukkan bahwa darah Maluku tetap mengalir dalam tubuhnya, dan bahwa Indonesia tetaplah Indonesia—tak peduli di mana pun seseorang lahir, di mana pun sejarah membawanya pergi.
Malam itu, ia menatap lawannya di seberang lapangan. Wasit meniup peluit. Pertandingan dimulai. Kevin berlari, membawa nama Indonesia. Bukan lagi sebagai musuh. Bukan lagi sebagai orang asing. Tapi sebagai bagian dari negeri ini. Dia bangga. Juga bahagia.
Dari tanah Maluku, terkirim ribuan pesan cinta untuk mereka. Torang samua basudara.
*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.