Sport

Dari Pengasingan ke Garuda: Anak-Anak Maluku yang Membasuh Luka Kolonialisme




Pada tahun 1970-an, kemarahan generasi muda Maluku di Belanda meledak. Mereka merasa perjuangan orang tua mereka telah dilupakan, dan kemerdekaan Republik Maluku Selatan yang dijanjikan tak kunjung tiba.

Aksi pertama terjadi pada 1970, ketika sekelompok pemuda Maluku menyerbu Konsulat Indonesia di Amsterdam dan menyandera duta besar Indonesia. Ini adalah pesan keras bagi dunia: mereka menuntut pengakuan atas hak-hak mereka dan perjuangan RMS.

Tak berhenti di sana, pada 1975, mereka menyandera murid-murid dan guru di sebuah sekolah di Wijster. Situasi tegang selama beberapa hari, hingga akhirnya aparat keamanan Belanda turun tangan.

Tahun 1977 menjadi puncak dari serangkaian aksi ini. Sekelompok pemuda Maluku membajak kereta api di De Punt. Selama sepuluh hari, mereka menuntut pengakuan bagi Republik Maluku Selatan, berharap dunia melihat nasib komunitas mereka yang terombang-ambing tanpa tanah air.

Namun, harapan itu kandas di ujung senjata. Pasukan Belanda menyerbu kereta api, menewaskan beberapa pembajak. Dunia mencap mereka teroris, tapi bagi komunitas Maluku di Belanda, mereka adalah anak-anak yang terjepit oleh sejarah. Mereka adalah anak muda yang hendak bertanya siapa mereka dan kenapa diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Mereka adalah korban dari kolonialisme, yang telah membawa mereka ke negeri yang jauh.

Di tengah semua ini, keluarga Kevin pun ikut terguncang. Mereka tak pernah ikut dalam aksi radikal, tapi mereka tahu betul pahitnya hidup di dua dunia yang tak pernah benar-benar menerima mereka.

Hingga lahirlah generasi baru Maluku yang menjalani hari di negeri tulip. Sebagaimana Kevin, beberapa di antara mereka menjadi pesepakbola Eropa yang malang-melintang di klub-klub besar. Namun, darah Maluku, dan darah Indonesia, mengalir dalam dirinya. Saat panggilan untuk tanah air yang jauh di sana datang, mereka tak mungkin menampik.

Sepak bola menjadi jembatan yang menghubungkan dua negara yang lama berpisah dan tak bertegur sapa karena kolonialisme. Sepak bola menjadi temali yang kembali mengikatkan keluarga yang tercerai-berai karena nasionalisme.


>> Baca Selanjutnya