
Ketua Waste to Energy Research Group Unhas, Prof Dr Ir Andi Erwin Eka Putra ST MT. (dok unhas.tv)
Mengolah sampah menjadi energi bukan berarti tanpa risiko. Proses termal bisa menghasilkan emisi berbahaya jika tidak dikontrol.
Tapi, menurut Erwin, membiarkan sampah menumpuk lebih berbahaya. “Gas metana dari sampah yang membusuk punya efek rumah kaca 25 kali lebih kuat dibanding CO₂,” katanya.
Karena itu, setiap riset di Waste to Energy Research Group juga menghitung emisi dan dampak lingkungan. Tujuannya, menekan polusi seminimal mungkin.
Meski menjanjikan, penerapan teknologi waste to energy menghadapi tantangan besar. Pertama, biaya. Investasi untuk gasifikasi atau insinerator bisa mencapai ratusan miliar rupiah.
Kedua, penerimaan masyarakat. “Sampah masih dianggap kotor, menjijikkan. Padahal, kalau diolah, bisa jadi sumber energi,” ujar Erwin.
Unhas mencoba menjawab tantangan ini lewat pendidikan. Kurikulum teknik mesin, misalnya, sudah memasukkan mata kuliah teknologi proses termal. Program studi lain juga mengenalkan energi terbarukan. “SDM harus dipersiapkan, karena teknologi ini butuh tenaga ahli,” katanya.
Solusi pengelolaan sampah, kata Erwin, tidak bisa hanya mengandalkan kampus. Perlu peran pemerintah lewat regulasi dan pembiayaan, serta keterlibatan swasta dalam investasi.
Pemerintah pusat sebenarnya sudah memberi payung hukum lewat Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik. Revisi aturan itu kini memungkinkan PLN membeli listrik PLTSA dengan harga 20 sen per KWh.
Di Sulawesi Selatan, Erwin berharap ada pembagian peran berbasis klaster. Kota Makassar dan kawasan metropolitan Mamminasata (Maros, Gowa, Takalar) butuh teknologi skala besar seperti gasifikasi atau insinerator.
Daerah lain seperti Pangkep bisa memanfaatkan teknologi skala kecil, misalnya biogas atau pirolisis untuk limbah pertanian.
“Intinya, sampah jangan hanya dilihat sebagai masalah. Kalau dikelola dengan benar, justru jadi sumber energi yang bermanfaat,” kata Erwin.
Menutup program Speak Up dengan wajah optimistis Prof. Erwin menegaskan bahwa tumpukan sampah yang selama ini dianggap beban, sesungguhnya bisa menjadi berkah.
Jika kolaborasi antara kampus, pemerintah, swasta, dan masyarakat bisa terwujud, maka bukan tidak mungkin Sulawesi Selatan akan menjadi pelopor pengelolaan sampah modern berbasis energi di Indonesia.
Di tengah darurat sampah yang kian meresahkan, riset Waste to Energy dari Universitas Hasanuddin menjadi secercah harapan.
Dari laboratorium di kampus hingga rencana PLTSA di Makassar, satu hal menjadi jelas: sampah bukan akhir dari segalanya. Ia bisa jadi awal bagi energi baru. (*)