
Ia mengunjungi negara-negara yang tak masuk radar media Barat: Sierra Leone, Nepal, El Salvador, dan Papua Nugini. Ia tidak hanya memberi pidato, tetapi duduk di lantai tanah, mendengarkan kisah-kisah anak-anak yang selamat dari konflik dan kekeringan.
Pada 2015, ia mendirikan 7: The David Beckham UNICEF Fund, dinamai dari nomor punggung legendarisnya, untuk mendukung program-program kesehatan anak, pendidikan perempuan, dan perlindungan korban kekerasan.
“Saya ingin anak-anak di tempat-tempat yang paling sulit sekalipun punya peluang yang sama seperti anak-anak saya sendiri,” kata Beckham dalam salah satu kunjungan ke Swaziland.
Melalui program 7 Fund, Beckham mendukung pelatihan psikososial bagi remaja perempuan korban pernikahan anak di Indonesia, pengadaan vaksin di Kongo, hingga akses pendidikan inklusif bagi anak-anak difabel di Balkan.
“From the Field to the Frontlines”
Apa yang membedakan Beckham dari selebritas lain yang juga terjun ke bidang kemanusiaan?
Barangkali, jawabannya adalah konsistensi dan keterlibatan langsung. Di tengah jadwal padatnya sebagai pemilik Inter Miami FC dan figur publik global, ia menyempatkan diri meninjau langsung laporan dampak dari setiap inisiatif yang didanainya.
Ia berbicara dengan tim lapangan, bertanya tentang anggaran, dan ingin tahu indikator keberhasilan. Ia bahkan mendorong agar laporan tahunan program UNICEF di zona krisis lebih berorientasi pada outcome daripada output.
Beckham tak ingin sekadar menjadi lambang, ia ingin menjadi bagian dari proses.
Pada 2023, saat gempa mengguncang Turki dan Suriah, Beckham menjadi salah satu donatur pribadi pertama yang menyalurkan bantuan logistik. Tahun berikutnya, ia meluncurkan kampanye “One Goal, One Future”, yang menggalang lebih dari $50 juta untuk mendanai proyek air bersih dan sanitasi di 18 negara Afrika dan Asia.
Di balik semua itu, ada juga semangat seorang ayah. “Saya melihat anak-anak saya tumbuh di lingkungan yang aman. Tapi saya tahu banyak orang tua di luar sana tidak seberuntung saya. Dan itu menyakitkan,” kata Beckham.
Filantropi sebagai Kompetisi yang Adil
Mungkin benar, semangat kompetitif tak pernah benar-benar hilang dari diri seorang atlet. Tapi pada Beckham, kompetisi itu tidak lagi soal skor di papan digital. Ini soal anak-anak yang bisa sekolah tanpa takut ditembak.
Ini soal gadis remaja yang bisa belajar tanpa dinikahkan dini. Ini soal air bersih yang mengalir di tempat yang sebelumnya hanya padang pasir. “Saya ingin melihat kemenangan—bukan untuk saya, tapi untuk mereka,” kata Beckham kepada Time.
Dalam dunia yang makin ragu pada lembaga formal dan makin curiga pada niat baik, kehadiran tokoh seperti Beckham membawa harapan. Ia membuktikan bahwa popularitas bisa menjadi kekuatan yang memanusiakan, bukan memisahkan. Bahwa ketenaran bisa dipakai untuk memperbaiki, bukan sekadar menampilkan diri.
Sebagaimana dulu ia menggiring bola menembus pertahanan lawan, kini ia menggiring atensi dunia pada yang terpinggirkan.
Dan ia masih ingin menang.