Sport

Debut Beckham yang Memantik Decak Kagum Pundit Malaysia

UNHAS.TV Usai peluit panjang dibunyikan di Stadion Utama Gelora Bung Karno malam itu, Beckham Putra Nugraha menatap langit Jakarta yang pekat dan penuh sorak.

Tapi bukan sorak itu yang menggugahnya—melainkan keheningan dalam dadanya. Ia berdiri di tepi lapangan, lalu perlahan terduduk.

Air matanya jatuh pelan, seperti gerimis yang datang setelah badai. Di balik tangisnya, tersimpan perjalanan panjang seorang anak Bandung yang menapaki mimpi dengan susah payah—hingga akhirnya, ia tiba di titik ini: debut di Timnas Indonesia senior dalam laga krusial melawan Tiongkok, yang berakhir dengan kemenangan.

Itu bukan sekadar kemenangan 1-0 lewat penalti Ole Romeny. Itu adalah pengakuan. Bagi Beckham, nama yang begitu besar namun tubuhnya tetap ringkas dan rendah hati, ini adalah pertemuan antara pengorbanan dan kesempatan.

Lima belas menit di akhir laga, ia turun menggantikan Yakob Sayuri. Tapi kehadirannya bukan sekadar rotasi. Ia menyuntikkan energi segar dan permainan yang lebih berani. Kecepatan, kelincahan, dan semangatnya menghidupkan sisi kanan serangan Garuda. Itu cukup untuk membuat para Bobotoh di rumah ikut terisak bangga.

Beckham adalah anak kandung Persib Bandung. Lahir di Kota Kembang, tumbuh besar di tengah gegap gempita Stadion Gelora Bandung Lautan Api, ia bukan sekadar pemain—ia adalah simbol. Ia tumbuh di antara nyanyian Bobotoh dan membalas cinta itu dengan trofi.

Dua musim terakhir, Beckham bukan hanya ikut mengantar Persib juara Liga 1 dua kali beruntun, tetapi juga membuktikan dirinya sebagai pemain serbabisa: penyerang sayap kanan, kiri, bahkan gelandang serang jika perlu. Ia mencetak tujuh gol dan mencatat tiga assist di musim 2024/2025, dan tampil konsisten di AFC Champions League Two.

Tak heran, ketika akhirnya namanya masuk ke dalam daftar 23 pemain pilihan Patrick Kluivert untuk laga melawan Tiongkok, banyak mata di luar negeri mulai memerhatikannya.

Di Malaysia, nama Beckham Putra sudah lama digaungkan oleh para pengamat bola. Dalam sebuah sesi diskusi oleh kanal olahraga Malaysia yang berbasis di Kuala Lumpur, Beckham disebut sebagai “raw potential” yang “super stadium level di Bandung.”

Ia bukan sekadar pemain muda berbakat—ia adalah cerita yang hidup. Cerita tentang anak kampung yang membela klub kota asalnya, berjuang tanpa banyak polesan, dan kini bersinar di panggung internasional.

Salah seorang pengulas bola Malaysia, Keesh Sundaresan, dalam nada penuh takjub, membandingkan gaya main Beckham dengan Faizal Halim.

“Dia bermain seperti tak kenal takut, unpredictable. Bek lawan akan bingung: dia mau ke kiri atau kanan? Dribel atau oper? Dan itu membuatnya sangat berbahaya,” katanya.

Tak sedikit pula yang menyebut Beckham sebagai “senjata rahasia” Indonesia di laga-laga penting, termasuk saat menghadapi Tiongkok dan Jepang di sisa Kualifikasi Piala Dunia 2026.

Yang membuat Malaysia semakin terkesima adalah kepribadian Beckham di luar lapangan. Dalam satu kesempatan, ia disebut hendak ke Kuala Lumpur untuk menonton pertandingan ASEAN All Stars.

Ia ingin mendukung sahabatnya, Kakang Rudianto, yang bermain di laga itu. Tapi niat itu batal karena panggilan Timnas datang lebih dulu. Ia memilih terbang bukan ke Malaysia, tetapi kembali ke pelatnas.

Dan itulah Beckham—sosok yang merendah, memprioritaskan tanggung jawab, dan selalu mendahulukan kebanggaan merah-putih.

Panggilan debut ini memang datang belakangan. Tidak sejak awal kualifikasi, tapi di fase paling genting. Ketika tekanan sedang tinggi dan lawan bukan sembarang. Tapi justru di saat genting itu, Beckham hadir sebagai pelengkap yang tak tergantikan.

Patrick Kluivert tahu itu. Ia mengatakan, “Beckham bermain sangat baik di antara lini. Ia menunjukkan kualitas yang luar biasa. Dia pantas mendapatkan ini.”

Bagi Beckham, mungkin tak ada yang lebih membahagiakan dari momen saat dirinya menggenggam jersey merah-putih, lalu memakainya di atas lapangan. Ia tak banyak berkata, tapi air matanya menjawab segalanya.

Ia tahu, di balik kamera yang menyorot, ribuan pasang mata Bobotoh ikut menyaksikan. Dan di hati mereka, satu suara bergema: mimpi anak Bandung itu kini telah jadi milik bangsa.

Esok, Indonesia akan kembali bertanding. Tapi malam itu, di GBK yang menyala dan penuh euforia, nama Beckham Putra Nugraha telah menyatu dalam narasi panjang perjuangan Timnas Indonesia.

Dan siapa tahu, kelak, ketika sejarah menuliskan tentang generasi emas yang membawa Garuda ke Piala Dunia 2026, ada satu nama dari Bandung yang akan tetap dikenang: Beckham—bukan David, tapi Putra.

Seperti pepatah Sunda bilang: “Nu ngindit moal leungit, nu datang moal pegat.” Yang pergi tak akan hilang, yang datang tak akan terputus.

Beckham datang dari rahim mimpi orang-orang biasa, dan ia membuktikan: mimpi itu bisa diwariskan, selama keyakinan tak pernah padam.