Budaya
News

Diaspora Buton: Menyambung Pulau, Merajut Indonesia



sesaat sebelum diskusi

Pulau-pulau yang dulu sunyi berubah menjadi ruang hidup baru, lahan-lahan yang kosong disulap menjadi kebun dan sawah, sementara titik-titik kecil di peta Nusantara yang semula terpencil perlahan terikat dalam jalinan sosial, ekonomi, dan budaya.

“Bayangkan Nusantara tanpa orang Buton,” katanya, sambil menatap audiens. “Banyak pulau tidak akan terhubungkan. Mereka berlayar, singgah, lalu menetap. Peran orang Butonlah yang menyambungkan pulau-pulau itu, menjadikan Indonesia lebih utuh.”

Dalam kalimat itu, tersirat kesadaran bahwa sejarah Indonesia tidak hanya dibentuk oleh pusat-pusat kekuasaan besar seperti Jawa atau Sumatra, tetapi juga oleh peran komunitas perantau yang sabar mengisi ruang-ruang kosong.

Orang Buton hadir di tempat-tempat yang sering diabaikan, menanamkan kehidupan di tanah yang tandus, dan membawa denyut ekonomi di pelabuhan-pelabuhan kecil. Dengan pelayaran tradisional mereka, laut yang luas tidak pernah menjadi penghalang, melainkan jembatan.

Mereka datang bukan hanya sebagai pendatang, melainkan sebagai penyambung peradaban. Di setiap tempat yang mereka huni, terbentuk jejaring sosial baru: pasar tumbuh, tradisi berbaur, dan solidaritas lintas etnik terjalin.

Jejak ini menjadi bukti bahwa keutuhan Indonesia bukanlah proyek politik semata, melainkan juga hasil dari inisiatif kultural dan keberanian diaspora seperti orang Buton yang tanpa henti menjahit ruang-ruang Nusantara.

Sejarawan Belanda, J.W. Schoorl, dalam kajiannya tentang Buton, menulis bahwa kekuasaan dan ideologi kesultanan sejak awal berakar pada keterampilan maritim.

Mobilitas laut bukan hanya sumber kekayaan, tetapi juga sarana integrasi politik dan kultural. Pandangan ini sejalan dengan kenyataan diaspora: pelayaran bukan sekadar pindah tempat, tetapi sebuah cara membangun keterhubungan.

Merawat Identitas, Menjaga Integrasi

Namun, kisah diaspora Buton bukan hanya tentang perpindahan. Ia juga tentang keteguhan menjaga identitas di tengah perantauan. Ke manapun mereka pergi—ke Maluku, Kalimantan, Papua, hingga Sumatra—orang Buton selalu membawa serta bahasa, adat, dan tradisi.

Di Ambon, mereka menamai kampungnya Oli Lama, Oli Tengah, dan Oli Baru—nama-nama yang tetap mengingatkan pada asal-usul. Di Sorong, solidaritas kekerabatan dijaga lewat Kerukunan Keluarga Sulawesi Tenggara. Di Bangka-Belitung, tradisi pelayaran diwariskan turun-temurun, menjadi pengingat bahwa laut adalah nadi kehidupan.

Bahasa Wolio atau Cia-Cia tetap dituturkan di rumah, ritual adat tetap digelar, dan musik serta tarian Buton tetap hidup dalam pesta-pesta komunitas. “Mereka cepat berbaur, namun tidak kehilangan jati diri,” ujar Susanto. Identitas itu seperti pelita: memberi cahaya pada diri sendiri, sekaligus menyinari perjumpaan dengan orang lain.

Dari kemampuan menjaga identitas sekaligus beradaptasi inilah lahir kekuatan kultural. Orang Buton diterima, dihormati, bahkan dipercaya di tanah rantau. Identitas bukan sekadar kenangan asal-usul, melainkan modal sosial yang memperkuat jaringan diaspora.


suasana saat bedah buku

Prof. Susanto Zuhdi

Di penghujung acara, suasana di ruangan Kendari itu berubah lebih hening, seolah semua yang hadir diajak merenungi kembali. Betapa tanpa orang Buton, banyak ruang dalam peta Nusantara yang akan tetap kosong. Betapa lewat pelayaran, perantauan, dan keteguhan menjaga tradisi, mereka telah menjadi penyambung pulau, pengikat kebangsaan.

Schoorl pernah menulis bahwa perubahan dalam sejarah Buton tidak pernah lepas dari laut. Dan di Kendari sore itu, kata-kata Susanto Zuhdi membuat pandangan itu terasa hidup: laut tidak hanya menghubungkan pulau, tetapi juga menghubungkan ingatan, identitas, dan masa depan Indonesia.

Laut bagi orang Buton adalah kitab yang selalu terbuka. Setiap gelombang adalah halaman, setiap pelayaran adalah ayat, dan setiap perantauan adalah tafsir baru tentang kebangsaan.

Selama laut tetap beriak, selama perahu mereka terus berlayar, orang Buton akan tetap menulis sejarahnya di antara pulau-pulau, di dalam jalinan Indonesia yang terus dirajut.