MISRATAH-LIBYA, UNHAS.TV- Di jantung kota Misratah, Libya, di tengah gemerlap lampu Ramadan, sebuah oase budaya tumbuh subur. Bukan sekadar tempat melepas dahaga, tetapi sebuah ruang perjumpaan bagi para pemikir, seniman, dan generasi muda yang haus akan ilmu dan inspirasi. Inilah "Maqha Al-Tsaqafi" atau Kafe Budaya, sebuah tempat yang menjadi saksi bisu perbincangan mendalam tentang budaya dan sastra Arab klasik, isu-isu sosial yang mengakar, dan upaya pelestarian identitas budaya Libya.

Di balik dinding-dindingnya yang sederhana, Kafe Budaya menjelma menjadi panggung bagi para intelektual untuk berbagi gagasan. Suara-suara lantang beradu argumen, namun tetap dalam bingkai persaudaraan. Malam-malam Ramadan di sini bukan sekadar tentang santap sahur, tetapi tentang merayakan intelektualitas dan memperkuat ikatan budaya.

Panggung Seni dan Diskusi Intelektual

"Kami ingin menciptakan ruang di mana generasi muda dapat berdialog dengan para pemikir senior," ujar Khalid, seorang penyair muda dan salah satu penggagas Kafe Budaya. "Di sini, kami tidak hanya membahas sastra, tetapi juga tantangan yang dihadapi masyarakat Libya saat ini, seperti dampak konflik berkepanjangan dan upaya membangun kembali identitas nasional."

Kafe Budaya bukan sekadar tempat diskusi, tetapi juga panggung ekspresi seni. Para musisi membawakan lantunan melodi tradisional seperti al-Malouf dan al-Muwashahat, para penyair membacakan karya-karya mereka yang sarat makna tentang harapan dan ketahanan, dan para seniman memamerkan lukisan-lukisan yang menggambarkan kehidupan dan harapan, seringkali dengan sentuhan surealis yang mencerminkan kompleksitas situasi di Libya.

Fatima, seorang pelukis muda yang sering memamerkan karyanya di Kafe Budaya, menegaskan pentingnya ruang ini. "Kami ingin menunjukkan bahwa budaya Libya tidak mati, bahkan di tengah kesulitan. Kami memiliki warisan budaya yang kaya dan beragam, dari seni rupa hingga musik dan sastra, yang menjadi sumber kekuatan dan inspirasi bagi kami."