Lingkungan

Infrastruktur Drainase di Makassar Tertinggal 20 Tahun

MAKASSAR, UNHAS.TV - Kepala Laboratorium Hidrolika Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (FT Unhas) Dr Ir Riswal Karamma ST MT menyebutkan, sistem drainase di Kota Makassar saat ini sudah tidak lagi mampu mengakomodasi peningkatan aliran air atau run off yang terjadi akibat pesatnya urbanisasi dan perubahan tata guna lahan. 

Sistem drainase yang masih menggunakan desain dan kapasitas lama dianggap tidak relevan dengan kebutuhan kota metropolitan seperti Makassar saat ini.

"Dulu, kondisi Makassar masih jauh berbeda. Dengan urbanisasi yang terus meningkat, lahan terbuka semakin berkurang dan menyebabkan peningkatan run off. 

Jika 20 tahun lalu, sekitar 60% air hujan masih bisa meresap ke tanah, sekarang hanya 30%. Sisanya, 70% menjadi run off yang membebani saluran drainase kota," ujar Riswal.

Ia menambahkan, banyak saluran drainase di Makassar yang belum terkoneksi dengan baik. Tidak hanya itu, dimensi saluran yang ada saat ini juga tidak sesuai lagi dengan volume air yang harus ditangani. 

"Untuk memperluas saluran atau membuat dimensi baru, kita dihadapkan pada masalah pembebasan lahan permukiman, yang menjadi persoalan rumit," jelasnya.

Selain itu, sedimentasi dan sampah turut memperparah kapasitas saluran. Sistem drainase yang tidak tertata secara hierarkis–primer, sekunder, dan tersier–menjadi kendala besar. 

Menurutnya, jika masalah ini tidak segera ditangani dengan pendekatan yang tepat, banjir dan genangan akan terus menjadi masalah tahunan di Makassar.

Sebagai solusi, Riswal mengusulkan rekayasa sistem drainase kota dengan pendekatan Eko-Drainase. Salah satu pendekatan yang direkomendasikannya adalah kombinasi drainase horizontal dan vertikal. 

Drainase horizontal bertujuan mengalirkan air secepatnya ke tempat pembuangan, sementara drainase vertikal dirancang untuk menampung dan meresapkan air hujan sebelum menjadi run off.

"Kita perlu mengelola run off sebelum air itu masuk dan membebani saluran drainase. Salah satu caranya adalah dengan membuat kolam-kolam konservasi atau sumur resapan di kawasan pemukiman. 

Dengan begitu, infiltrasi air bisa tetap terjaga, sekaligus mengurangi volume air yang harus dialirkan," kata Riswal.

Ia juga menyoroti pentingnya pembenahan sistem drainase mikro di tingkat lingkungan masyarakat. Sebagai contoh, sumur resapan di kawasan seperti Bumi Tamalanrea Permai (BTP) dapat menjadi model untuk diterapkan secara luas. 

Dengan cara ini, air hujan tidak langsung masuk ke drainase kota, sehingga beban sistem dapat dikurangi secara signifikan.

Perubahan besar pada tata guna lahan di Makassar juga menjadi tantangan utama dalam pengendalian banjir. Kawasan yang dulu memiliki banyak ruang terbuka kini berubah menjadi permukiman dan infrastruktur. Hal ini meningkatkan risiko genangan saat hujan dengan intensitas tinggi.

"Jika dibandingkan, sistem drainase Makassar masih mengacu pada kondisi dan data 20 tahun lalu. Dengan curah hujan yang sama, dampak banjir sekarang jauh lebih besar karena peningkatan run off. Maka, rekayasa drainase menjadi hal yang tidak bisa dihindari,” ujar Riswal.

Mengatasi persoalan tersebut, menurut Riswal, diperlukan kerjasama lintas sektor antara pemerintah, masyarakat, dan para ahli. 

Penataan ulang sistem drainase, pembenahan tata kelola DAS (Daerah Aliran Sungai), dan edukasi masyarakat menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa Makassar mampu menghadapi tantangan urbanisasi dan mengurangi risiko banjir.(*)

Rizka Fraja (UNHAS TV)