MAKASSAR, UNHAS.TV - Langit Indonesia pada 7-8 September 2025 malam dihiasi dengan peristiwa astronomi yang jarang terjadi, yakni gerhana bulan total.
Fenomena ini menjadi salah satu yang istimewa karena memiliki durasi terpanjang, yakni mencapai 5 jam 20 menit 39 detik, dan dapat disaksikan di seluruh wilayah Indonesia.
Gerhana bulan total selalu memikat banyak mata. Bulan yang biasanya bersinar terang berubah menjadi merah bata, menghadirkan pemandangan langka yang membuat masyarakat terkesima.
Namun, di balik keindahan tersebut, ada penjelasan ilmiah yang menarik dari sudut pandang fisika dan astronomi.
Dalam program Unhas Speak Up, Guru Besar Fisika Universitas Hasanuddin, Prof Dr Rer-nat Wira Bahari Nurdin, menguraikan bagaimana ilmu fisika teoretik menjelaskan fenomena ini.
Menurutnya, fisika teoretik dan eksperimental bekerja saling melengkapi untuk memahami peristiwa alam semesta.
"Fisika teoretis bekerja untuk pemodelan menggunakan rumus matematika untuk memprediksi hal-hal yang mungkin terjadi. Hasilnya kemudian menjadi petunjuk apakah benar-benar ada atau tidak," ujar Prof Wira.
"Ada juga hal yang sifatnya periodik, misalnya gerhana, yang dapat diprediksi sampai detik terjadinya di setiap titik di Bumi”, jelas Prof Wira, Senin (8/9/25).

Guru Besar Fisika Teoritik Universitas Hasanuddin Prof Dr Rer-nat Wira Bahari Nurdin. (dok unhas.tv)
Ia menambahkan, gerhana bulan total hanya bisa terjadi saat bulan purnama, ketika matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus.
Dalam posisi tersebut, bayangan bumi menutupi pergerakan bulan sehingga bulan tampak menghilang lalu berubah warna.
Perubahan warna bulan menjadi merah bata, menurut Prof Wira, bukanlah sesuatu yang mistis, melainkan hasil dari hamburan Rayleigh.
Saat cahaya matahari melewati atmosfer bumi, partikel-partikel di udara menyerap warna biru sehingga cahaya yang sampai ke bulan didominasi oleh spektrum merah. Proses inilah yang membuat bulan tampak berwarna merah, mirip dengan warna langit saat senja atau fajar.
“Kalau kita lihat bulan bisa merah bata atau sebagian tetap bercahaya putih, itu karena cahaya matahari yang terhambur dan masih mendominasi. Semua itu hasil dari interaksi cahaya dengan atmosfer bumi," katanya.
Fenomena alam seperti gerhana bulan kerap dinikmati dari sisi estetika. Banyak orang menunggu momen langka ini untuk memotret atau sekadar menyaksikan dengan mata telanjang. Namun bagi para ilmuwan, keindahan itu juga terletak pada perhitungan matematis yang presisi.
"Kalau kita dari fisika, melihat rumusnya saja sudah indah”, ujar Prof Wira sambil tersenyum.
“Gerhana bulan ini bukan sesuatu yang aneh. Justru ia mengingatkan kita pada keteraturan alam semesta bahwa semua pergerakan benda langit bisa dipahami, diprediksi, bahkan dijelaskan dengan sederhana”, tambahnya.
Gerhana bulan total kali ini menjadi pengingat bahwa alam semesta bergerak dalam keteraturan.
Siang dan malam akan terus berganti, fase bulan akan selalu berulang, dan gerhana akan kembali hadir di masa depan dengan keindahan serta misterinya sendiri.
Bagi masyarakat, fenomena ini bukan hanya tontonan langit, tetapi juga ruang untuk mengagumi betapa luasnya pengetahuan sains yang mampu menjelaskan sesuatu yang tampak begitu magis.
Sementara bagi ilmuwan, gerhana bulan adalah bukti nyata bahwa antara keindahan langit dan ketelitian sains, selalu ada ruang untuk bertemu.
(Zulkarnaen Jumar Taufik / Unhas.Tv)