UNHAS.TV - Setiap hari, Kota Makassar memproduksi 1.000 hingga 1.200 ton sampah. Angka ini terus meningkat, sementara kemampuan pemerintah kota dan kabupaten di Sulawesi Selatan baru mampu mengelola sekitar 67 persen.
Sisanya menumpuk di tempat pembuangan akhir, menimbulkan bau, mencemari air tanah, dan melepaskan gas metana yang berbahaya bagi iklim. Namun, di balik tumpukan sampah itu tersimpan potensi yang jarang dibicarakan yakni energi.
“Sampah punya nilai kalor. Itu energi yang bisa diubah menjadi listrik, bahan bakar, atau pupuk,” kata Ketua Waste to Energy Research Group Universitas Hasanuddin, Prof Dr Ir Andi Erwin Eka Putra ST MT, saat berbincang di program Unhas SpeakUp Unhas TV.
Kelompok riset yang dipimpinnya, dibentuk awal 2025, berangkat dari keresahan atas persoalan klasik pengelolaan sampah.
“Kami sudah lama melakukan kajian nilai kalor sampah di TPA Makassar, bahkan sebelum grup riset ini resmi terbentuk,” ujar Erwin.
Hasil kajian mereka menunjukkan, rata-rata sampah di Makassar memiliki nilai energi 1.000–1.500 kilojoule per kilogram, angka yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan.
Sampah yang menumpuk di TPA Antang bukan hanya organik dari pasar dan rumah tangga. Ada juga plastik, logam, hingga limbah industri. Menurut Erwin, hampir semua jenis sampah bisa diolah menjadi energi atau produk turunan yang bermanfaat.
Plastik, misalnya, dapat diproses lewat pirolisis untuk menghasilkan bahan bakar cair mirip bensin. Limbah organik bisa difermentasi menghasilkan biogas.
Sementara limbah pertanian seperti kulit kakao atau tandan kosong kelapa sawit, yang selama ini dianggap sisa tak berguna, dapat diubah menjadi sumber energi baru.
“Jangan lupa, sampah dari sektor perikanan dan perkebunan juga punya potensi. Limbah kelapa sawit, misalnya, bisa diolah jadi briket atau karbon aktif,” kata Erwin.
Menyulap Sampah Jadi Listrik
Teknologi pengolahan sampah menjadi energi terbagi dua: termal dan non-termal. Metode non-termal dilakukan tanpa panas, seperti fermentasi anaerobik yang menghasilkan biogas metana. Adapun metode termal melibatkan panas tinggi, seperti pirolisis, gasifikasi, atau insinerasi.
Setiap teknologi punya kelebihan dan kekurangan. Fermentasi anaerobik murah dan cocok untuk skala kecil, misalnya di pasar tradisional. Namun, hanya bisa digunakan untuk sampah basah.
Gasifikasi, sebaliknya, cocok untuk kota besar yang darurat sampah. Teknologi ini sudah dipakai di Surabaya dan Solo, mampu menghasilkan listrik dalam skala besar. “Tapi, biayanya mahal,” ujar Prof Erwin.
Pirolisis juga menjanjikan. Proses ini memanaskan sampah tanpa oksigen, menghasilkan bahan bakar cair, padat, dan gas. Cocok untuk limbah plastik. “Bahkan bisa menghasilkan bensin dari plastik,” katanya.
Di Makassar, rencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA) sudah masuk agenda pemerintah kota sejak 2024. Tim riset Unhas ikut terlibat dalam studi kelayakan dan memberi masukan teknologi yang paling sesuai.
Bukan hanya teori, kelompok riset ini sudah menguji berbagai inovasi. Salah satunya, mengolah campuran plastik dan sampah organik menjadi material alternatif pengganti kayu. Produk ini lebih tahan air dan bisa digunakan sebagai bahan bangunan atau isolator listrik.
Ada juga penelitian menghasilkan hidrogen dari limbah organik perkebunan, hingga proyek memanfaatkan limbah katering untuk pakan maggot. “Kami buatkan mesin pencacah untuk mengolah limbah catering agar bisa digunakan sebagai media maggot,” kata Erwin.
Tahun ini, riset difokuskan pada pemanfaatan limbah organik sebagai bahan baku penyimpan energi, seperti baterai atau superkapasitor. Limbah organik diubah menjadi karbon yang sesuai untuk kebutuhan industri baterai.
Mitigasi Lingkungan
>> Baca Selanjutnya