MAKASSAR, UNHAS TV - Ketika mendengar kata emosi, banyak orang langsung membayangkan amarah atau ledakan perasaan negatif. Padahal, emosi juga ada yang positif seperti perasaan bahagia.
Menurut dokter Spesialis Neurologi Universitas Hasanuddin dr Raissa Alfaathir Heri SpN, seseorang memiliki tingkat emosi yang berbeda-beda dalam menghadapi suatu situasi.
"Emosi itu sangat objektif. Masing-masing orang punya level emosi yang berbeda-beda terhadap suatu stimulus. Di masyarakat seringkali emosi itu hanya dipersepsikan sebagai marah. Padahal ada yang positif juga, seperti perasaan senang, itu juga emosi," Jelasnya.
Dalam dunia medis dan neurologi, emosi dipengaruhi oleh berbagai hormon yang diproduksi oleh otak dan sistem saraf. Tiga di antaranya yang paling berpengaruh adalah dopamin, serotonin, dan kortisol.
Dokter Resa -sapaan akrabnya- menjelaskan ketiga hormon ini memiliki peran penting dalam mengatur bagaimana seseorang merespon situasi sehari-hari, mulai dari perasaan bahagia hingga stres berat.
Dopamin itu hormon bahagia. Serotonin itu mood stabilizer. Kortisol itu hormon yang dihasilkan saat kita terancam, marah, atau stres,” ujarnya.
Kortisol, misalnya, adalah hormon yang dilepaskan saat tubuh merasa terancam. Ini menjelaskan mengapa seseorang yang sedang marah atau tertekan, bisa mengalami detak jantung yang cepat, tekanan darah naik, hingga munculnya perasaan panik atau gelisah.
Sementara itu, dopamin dan serotonin berperan penting dalam emosi positif. Dopamin menghasilkan rasa senang dan motivasi, sedangkan serotonin menjaga kestabilan emosi dan suasana hati.
Yang menjadi masalah adalah ketika dopamin muncul dalam kadar berlebihan akibat konsumsi zat adiktif. Dokter selebgram yang kerap membagikan info-info kesehatan melalui akun instagramnya ini menjelaskan, mengonsumsi zat adiktif seperti alkohol dan narkotika dapat memicu otak untuk memproduksi dopamin secara masif.
"Dopamin itu juga bisa dihasilkan dari penyalahgunaan alkohol, narkotika. Jadi orang yang mengonsumsi itu, otaknya terbiasa dibanjiri hormon dopamin," kata dokter Resa.
Akibatnya, tubuh mulai menetapkan standar kebahagiaan yang lebih tinggi dari normal. Ini menciptakan pola ketergantungan, bukan hanya terhadap zatnya, tetapi terhadap rasa senang yang dihasilkan oleh lonjakan dopamin.
"Kecanduan yang terjadi ini bukan terhadap obat-obatan itu, tetapi kecanduan terhadap jumlah dopamin yang banyak," Tambahnya.
Dengan kata lain, otak menjadi terbiasa dan bahkan menggantungkan kebahagiaan pada level dopamin yang tinggi. Karena itu, individu akan terus mencari sumber yang bisa memberi efek serupa, yang bisa berujung pada kecanduan dan kerusakan sistem saraf jangka panjang.
Meski demikian, bukan berarti lonjakan dopamin hanya bisa didapat dari hal negatif. Dr. Resa menekankan bahwa ada banyak cara sehat untuk memicu hormon bahagia ini, seperti berolahraga, terlibat dalam kegiatan sosial, berkarya, atau mengembangkan hobi.
"Hormon dopamin membuat kita bahagia, maka dia akan terus mencari sumber dopamin untuk memenuhi jumlah yang biasanya. Makanya baiknya kita bisa cari sumber kebahagiaan yang lain, itu bisa diubah ke sumber dopamin yang lebih positif," tutupnya.
Dengan memahami cara kerja hormon ini, kita bisa lebih bijak dalam mengelola emosi, menghindari risiko ketergantungan, dan membangun kebahagiaan dari sumber yang lebih sehat dan berkelanjutan.(*)
Iffa Aisyah Rahman (Unhas TV)