Di dalam studio Unhas TV, lampu menyoroti sosok Prof. Dr. Marsuki DEA yang duduk dengan tenang. Di balik kacamata tipisnya, ia menyusun kata dengan presisi, menyampaikan sebuah gagasan besar yang akan mengubah cara bangsa ini memahami uang.
Di hadapannya, grafik nilai tukar terpampang: 1 USD setara 16.000 rupiah. "Nilai kita 0,00006 di mata global," ujarnya pelan, seolah hendak mengajak kita merenung. "Inilah sebabnya rupiah digital penting."
Bank Indonesia kini tengah menyiapkan proyek besar bernama Proyek Garuda, sebuah inisiatif untuk menghadirkan Central Bank Digital Currency versi Indonesia. Bukan kripto, bukan e-wallet milik korporasi.
Rupiah digital adalah bentuk baru dari mata uang yang sah, diterbitkan langsung oleh negara. Ia diciptakan bukan sekadar untuk mengejar efisiensi, tetapi untuk sesuatu yang jauh lebih besar. "Ini bukan semata-mata demi efisiensi," tegas Prof. Marsuki. "Ini tentang kehormatan ekonomi kita di mata dunia."
Kalimat itu bukan sekadar retorika. Ia lahir dari pengalaman panjang seorang ekonom yang pernah duduk di kursi Badan Supervisi Bank Indonesia, memimpin kampus, hingga menjadi komisaris independen perbankan. Marsuki bukan hanya akademisi. Ia saksi mata dari denyut pelan namun krusial sistem keuangan nasional yang bertarung di medan global.
Menurutnya, terlalu lama Indonesia diposisikan sebagai ekor dalam tatanan moneter dunia. Ketika dolar AS, euro, yuan, dan yen berjaya sebagai alat pembayaran internasional, rupiah nyaris tak terdengar gaungnya. Nilainya kecil, reputasinya kerap diragukan.
"Bayangkan saat orang luar melihat 1 dolar setara Rp16.000. Mereka bertanya, ‘Apa betul ini uang yang bisa dipercaya?’ Di situlah kita kalah sebelum bertarung," ucapnya.
Baginya, digitalisasi rupiah adalah bentuk keberanian geopolitik. Ia bukan sekadar alat tukar, tapi simbol kedaulatan. Sebuah pernyataan bahwa Indonesia tidak lagi ingin hanya menjadi konsumen dari sistem keuangan global, tapi bagian dari yang membentuk dan memimpin sistem itu.
"Digital currency bukan tren sesaat. Dunia sedang mengarah ke sana. Kalau kita lamban, kita hanya akan jadi penumpang dalam kereta ekonomi global," tegasnya.
Dari Bahama ke Jakarta: Lintasan yang Dipercepat
CBDC telah diuji di Bahama, Afrika, bahkan Amerika Latin. Negara-negara besar seperti Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat sedang dalam tahap uji coba. Tapi Indonesia bergerak cepat. Sejak 2022, Bank Indonesia meluncurkan Proyek Garuda dan menargetkan sistem pembayaran digital berbasis rupiah akan resmi berjalan pada 2025.
"Bukan hanya agar transaksi jadi lebih praktis," ujar Marsuki, "tapi ini tentang kedaulatan ekonomi. Kita ingin menciptakan sistem sendiri, bukan sekadar ikut sistem yang tak berpihak."
Rupiah digital berbeda dari kripto dan e-money. Kripto bersifat spekulatif, nilainya liar, dan tidak dijamin negara. E-wallet bergantung pada perusahaan penyedia layanan. Tapi rupiah digital adalah milik negara, dijamin oleh bank sentral, dan status hukumnya sama sahnya dengan uang kertas.