DARI Pondok King yang tenang di Tamalanrea, Makassar, sebuah kisah panjang tengah ditulis ulang oleh pria kelahiran Baubau, Buton.
Bukan lagi catatan seorang mahasiswa peternakan yang menimba air subuh-subuh dari sumur dan berjalan kaki menyeberang Jalan Perintis Kemerdekaan, melainkan kisah seorang ilmuwan yang kini tengah melangkah menuju pucuk pimpinan Universitas Halu Oleo—kampus terbesar di Sulawesi Tenggara.
Awal 1990-an, Takdir Saili hanyalah satu dari sekian banyak anak rantau dari Baubau yang menumpang hidup di kota pelajar ini. Di rumah kayu sederhana yang disebut Pondok King, ia tinggal bersama rekan-rekan mahasiswa Unhas.
Tangga kayu yang reyot, bilik mandi yang sempit, dan semangkuk mie rebus saban malam menjadi bagian dari harian hidupnya. Namun dari ruang sempit itulah ia merangkai mimpi. “Saya hanya membayangkan bisa hidup cukup dan bisa mengajar,” kenangnya.
Takdir tidak hanya menyusuri lorong-lorong Tamalanrea, tetapi juga lorong-lorong pendidikan negeri yang membentuknya sejak kecil: dari SD Negeri 1 Wajo Baubau, SMP Negeri 1 Baubau, hingga SMA Negeri 1 Baubau.
Lulus tahun 1987, ia melangkah ke Makassar dan memilih Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Di kampus inilah ia belajar bukan hanya soal sapi dan biologi reproduksi, tetapi tentang arti konsistensi dan etika keilmuan.
“Unhas bukan sekadar tempat kuliah,” ujarnya suatu kali. “Ia mengajari saya menjadi manusia.”
Lulus tahun 1992, ia sempat bekerja sebagai tenaga honorer di Dinas Peternakan Sulawesi Tenggara, mendampingi peternak di wilayah transmigrasi. Namun gairah akademiknya tak pernah padam.
Dua tahun berselang, ia diterima sebagai dosen di UHO. Titik ini menjadi pijakan awal pengabdian panjangnya sebagai ilmuwan.
Takdir melanjutkan studi magister dan doktoral di IPB, lalu memperkaya pengalaman akademiknya di Jepang. Sepulangnya ke tanah air, ia langsung dipercaya memimpin berbagai jabatan strategis di kampus: Kepala Laboratorium, Ketua Jurusan, Dekan Fakultas, hingga Ketua Senat Akademik.

Kini, sebagai Direktur Pascasarjana, ia membimbing para calon magister dan doktor bukan sekadar dengan teori, tetapi dengan pengalaman panjang yang ia jalani sendiri.
Saat namanya mencuat sebagai calon rektor, ia menyambutnya bukan dengan ambisi politik, melainkan dengan tenang. “Saya tidak mengejar jabatan,” ucapnya. “Saya hanya ingin memastikan kampus ini tetap menjadi tempat lahirnya ilmu, tempat bertumbuhnya manusia.”
Takdir Saili bukan hanya akademisi. Ia adalah cermin dari ketekunan dan kesetiaan pada ilmu. Ia mengakar pada tanah Baubau yang melahirkannya, dan berbuah di Kendari yang membesarkannya. Ia adalah kisah tentang jalan sunyi seorang dosen yang tak pernah berhenti belajar, memimpin, dan membimbing.
Dari Pondok King yang dulu hanya menjadi tempat singgah seorang mahasiswa, kini ia kembali menyalakan lentera. Menerangi jalan baru yang hendak ia tempuh: memimpin kampus, menjaga bara ilmu agar tak pernah padam di Timur Indonesia.