MAKASSAR, UNHAS.TV - Bangsa Jepang saat ini dilanda keresahan besar karena harga beras naik 100 persen. Keresahan mereka membesar karena kenaikan harga beras menjadi sumber infllasi utama pada barang kebutuhan lainnya.
Sebagai gambaran, beras jenis Koshihikari ukuran 5 kg, dijual seharga 4.223 Yen hingga 5.000 Yen atau setara Rp 423 ribu hingga Rp 560 ribu. Harga ini naik 100 persen dibanding satu tahun lalu.
Pemerintah sudah berupaya mengimpor besar dari negara lain, juga melepas cadangan darurat. Namun upaya ini tidak membuat kebutuhan beras tercukupi. Bahkan pada beberapa waktu, orang harus antre membeli beras dan jumlah pembelian dibatasi.
Mengapa Jepang krisis beras? Ini dimulai pada 2023, ketika Jepang dilanda hawa panas di saat musim tanam yang mengakibatkan banyak petani gagal panen.
Pada saat yang sama, pandemi Covid-19 sudah berakhir dan Jepang banyak menerima turis yang berujung pada peningkatan kebutuhan beras. Pada tahun 2024, Jepang menerima sekitar 36,9 juta turis mancanegara.
Sebenarnya ada pilihan lain yakni dengan membeli gandum. Sialnya, perang Rusia dan Ukraina membuat pasokan gandung dari negara itu juga terbatas dan harganya sudah melonjak.
Belum usai masalah tersebut, bagian barat daya Jepang dihantam gempa besar dan tsunami yang mengakibatkan daerah penghasil besar seperti Miyazaki porak-poranda. Warga yang panik kemudian membeli beras dalam jumlah yang besar
Menteri Pertanian Jepang Taku Eko menanggapi fenomena itu dengan sedikit candaan. "Ada banyak beras di rumah (saya) dan saya bisa jual ke mereka," katanya. Tak disangka, pernyataan ini menimbulkan ketersinggungan banyak pihak.
Taku Eko kemudian meminta maaf atas pernyataan itu. Namun, warga sedang sudah putus asa tidak menerima permintaan maaf itu. Sadar diri, Taku Eko kemudian menyatakan pengunduran dirinya.
Taku mundur pada Mei 2025 juga agar tidak mengganggu Perdana Menteri Shigeru Ishiba yang kembali akan ikut pemilihan perdana menteri pada Juli 2025.
Sudah banyak analisa menunjukkan masalah harga beras yang terus meningkat akan tetap terjadi di Jepang hingga beberapa tahun ke depan. Ini diperparah oleh kondisi pertanian Jepang yang sudah banyak kekurangan petani.
Petani di Jepang saat ini kebanyakan dari kalangan tua dengan rata-rata usia 69 tahun. Kaum muda Jepang sudah enggan bertani karena tidak menguntungkan.(*)