Sandiaga tidak malu-malu mengatakan itu. Di satu sisi, dia sedang bersiasat agar pemerintah memberi uluran bantuan agar partai itu lolos. Namun dengan mengeluarkan pernyataan itu, dia ibarat menabuh genderang perang dengan petinggi partai lain yang kalah, juga dengan petinggi partainya sendiri.
Berlatar pebisnis, Sandiaga melihat politik sebagai arena dagang. Semua langkah-langkahnya adalah hitung dagang. Dia berharap pindah partai akan melambungkan posisinya. Dia berharap diusung jadi capres. Dia berharap partainya menang dan lolos parlemen.
Kini, saat KPU mengumumkan partaiya tidak lolos, dia hanya bisa menatap nanar. Sebagai Bappilu, dia adalah jenderal lapangan yang harusnya memimpin pasukan untuk memenangkan pertarungan. Apa daya, hasrat bertempurnya hilang ketika bukan dirinya yang masuk arena pilpres.
Gagalnya PPP masuk parlemen menjadi noktah dalam karier politikya yang sebelumnya terus moncer Dia memang pernah kalah pilpres, tapi saham politiknya melejit sejak saat itu. Sebab mereka yang masuk arena pilpres adalah mereka yang terpilih.
Sebagai pedagang, Sandiaga melihat politik dalam kalkulasi untung rugi. Dia bukan seperti samurai bernama Katsumoto, dalam kisah The Last Samurai, yang bertarung hingga titik akhir, dan menarungkan nyawanya, meski tahu akan kalah.
Dia melihat politik sebagai arena untuk naik ke panggung depan, membawa segepok materi, tampil necis penuh senyum dan wangi merona.
Pilihan-pilihannya ke depan sangat terbatas. Dia bisa saja setor leher ke koalisi pemenang, namun sahamnya akan divaluasi rendah. Dia bukan pengusung. Dia bukan orang yang berdarah-darah untuk memenangkan. Dia bukan pemilik partai di parlemen.
Daya tawarnya hanya satu, yakni dia orang kaya. Modal ini tak cukup untuk tampil terdepan di tengah barisan koalisi pemenang yang juga tak sabar masuk pemerintahan. Ada banyak orang yang sekaya dia, ataupun berharap bisa sekaya dia karena dukungan kekuasaan.
Sandiaga menerima karma dalam politik. Dia berani tinggalkan Prabowo demi Jokowi. Dia pun berani tinggalkan Jokowi demi Ganjar. Dia pun berani tinggalkan koalisi Ganjar demi mendukung pemerintahan baru. Terakhir, dia ditinggalkan zaman, saat satu demi satu langkahnya salah arah.
Kisah Sandiaga mengingatkan kita pada pemeo “tak ada yang abadi dalam politik.” Jika politik dikelola seperti dagang, ada masa di mana politik menjadi karma, saat semua rencananya buyar satu demi satu.
Di titik ini dia terancam menjadi gelandangan politik yang tak berumah di manapun. Di partai, dia tidak konsisten dan tidak bertarung. Di luar sana, dia hanya sekadar melintas, tanpa meninggalkan banyak jejak.