Kesehatan
Program

Kenapa Laki-Laki Korban Kekerasan Seksual Lebih Memilih Diam, Ini Kata Psikolog?

UNHAS.TV – Selama bertahun-tahun, kekerasan seksual dianggap sebagai isu yang hanya menimpa perempuan. Namun, pandangan itu perlahan mulai bergeser.

Kini, semakin banyak suara yang menyoroti kenyataan bahwa laki-laki pun bisa menjadi korban—meskipun kerap tak terlihat dan tak terdengar.

Psikolog Universitas Hasanuddin, Dwiana Fajriati Dewi SPsi MSc menyatakan bahwa kekerasan seksual tidak melulu soal kontak fisik.

Bentuk verbal dan non-verbal, seperti pelecehan lewat komentar, gestur tubuh, hingga pandangan yang mengintimidasi, juga termasuk dalam kategori kekerasan jika disertai ketimpangan kekuasaan dan relasi.

“Siapa saja bisa menjadi korban kekerasan seksual, termasuk laki-laki. Apalagi ketika ada gap kekuatan, gap relasi—itulah bibit dari kekerasan,” ujar Dwiana dalam wawancara dengan Unhas TV, Senin (19/5/2025).

Ia menegaskan bahwa persepsi umum yang mengabaikan kemungkinan korban laki-laki justru memperparah dampak psikologis pada mereka.

Dalam budaya patriarki yang masih dominan di Indonesia, laki-laki diajarkan untuk kuat, tangguh, dan tidak menunjukkan emosi.

Hal ini berdampak langsung pada korban kekerasan seksual laki-laki yang merasa malu atau takut dianggap lemah jika mereka melaporkan kasusnya. “Stigma seperti ini membuat banyak dari mereka memilih diam,” tambah Dwiana.

Studi dari Komnas Perempuan dan lembaga pendamping korban menyebutkan bahwa laporan dari korban laki-laki masih sangat rendah. Padahal, kasus semacam ini ada dan nyata.

Menurut LSM Lentera Sintas Indonesia, sekitar 1 dari 10 klien pendampingan mereka adalah laki-laki yang pernah mengalami kekerasan seksual, baik di masa kecil maupun dewasa.

Dwiana menjelaskan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap laki-laki bisa sama beratnya dengan perempuan.

“Trauma mendalam, perasaan tidak berdaya, dan dalam beberapa kasus, kecenderungan untuk melakukan kekerasan serupa ke orang lain—itu semua adalah kemungkinan dampak psikologis yang serius,” katanya.



Psikolog Unhas Dwiana Fajriati Dewi SPsi MSc. (dok unhas.tv)


Salah satu kasus yang sempat mencuat adalah pengakuan beberapa selebriti pria yang pernah dilecehkan saat masih anak-anak.

Kisah-kisah itu membuka mata publik bahwa kekerasan seksual bukan tentang jenis kelamin, tetapi tentang penyalahgunaan kekuasaan dan dominasi atas tubuh orang lain.

Untuk itu, lingkungan sosial yang suportif menjadi sangat penting. Dwiana menekankan bahwa siapa pun yang mengalami kekerasan seksual butuh didengar tanpa dihakimi.

“Empati, bukan simpati semata. Terkadang kehadiran seseorang yang bersedia mendengarkan saja sudah cukup membantu proses pemulihan korban,” ucapnya.

Kesadaran masyarakat menjadi langkah awal dalam menciptakan ruang aman bagi semua pihak. Pendidikan seksualitas yang inklusif, kampanye publik tanpa bias gender, serta regulasi hukum yang tegas dan ramah korban, menjadi kunci dalam memutus rantai kekerasan seksual.

“Harapannya, kita bisa menciptakan ruang aman bagi siapa saja untuk berbicara. Kekerasan seksual bukan hanya soal perempuan. Ini adalah soal kemanusiaan,” pungkas Dwiana.

(Rizka Fraja / Unhas.TV)