UNHAS.TV – Ruang tamu itu hanya berukuran 4x3 meter dan sederhana. Tak ada perabot mewah, hanya meja kayu panjang dengan beberapa berkas laporan dan brosur produk perbankan.
Namun dari ruang itulah, Muhammad Hasrani Said, Manager BSI Area Tamalanrea Makassar 1, kerap memulai diskusi yang mampu mengguncang paradigma para pengusaha pemula.
Ia tidak berbicara soal modal uang, jaringan, atau bahkan strategi pemasaran canggih. Ia justru menggarisbawahi satu hal yang paling mendasar, namun kerap dilupakan: keberanian.
"Banyak orang ingin berbisnis, tapi takut gagal," katanya tenang, "padahal keberanian mengambil risiko itu adalah modal awal yang tidak ternilai."
Hasrani tidak sedang membual. Dalam pengamatannya selama bertahun-tahun mendampingi para pelaku UMKM, ia menyaksikan satu pola berulang: kegagalan sering kali bukan karena kekurangan dana, melainkan ketakutan yang membunuh langkah sebelum sempat dimulai.
Ketakutan itu muncul dari banyak hal. Ragu pada kualitas produk, cemas tidak laku, khawatir ditertawakan. Namun bagi Hasrani, semua itu hanyalah penghalang sementara yang bisa dikalahkan dengan keyakinan. "Kalau kita percaya bahwa yang kita jual itu pasti akan ada yang beli, kita akan punya alasan untuk terus bergerak," ujarnya.
Keyakinan itu, lanjutnya, akan mendorong seseorang untuk belajar. Tentang siapa pasarnya, bagaimana caranya memasarkan, dan bagaimana mengelola usaha dengan efisien.
Bukan teori dari bangku kuliah yang ia maksud, melainkan pembelajaran langsung dari lapangan. "Belajar itu ya sambil jalan. Gagal bukan akhir segalanya, tapi bagian dari proses," katanya lagi.
Dalam atmosfer wirausaha yang kini digalakkan pemerintah, cerita seperti Hasrani menjadi penting. Banyak anak muda didorong untuk menjadi job creator, bukan sekadar job seeker. Namun langkah pertama yang paling menentukan justru kerap dihambat oleh kecemasan akan risiko.
Hasrani mengenang bagaimana dulu, seorang nasabahnya datang dengan ide bisnis minuman rempah dalam kemasan.
"Idenya bagus, produknya unik. Tapi dia takut tidak laku. Saya bilang, jangan pikir langsung laku atau untung, tapi pikir bagaimana kamu bisa mulai. Jual dulu ke teman, tetangga, lalu pelajari respons mereka."
Kini, nasabah tersebut sudah memiliki gerai kecil di dua lokasi, dan produknya mulai masuk ke toko oleh-oleh. Keberhasilannya bukan hanya karena produknya enak, tetapi karena ia memutuskan untuk mengambil risiko kecil — dan dari situ, belajar mengambil risiko yang lebih besar.
Kisah-kisah seperti ini, menurut Hasrani, terlalu sering tenggelam dalam gemuruh narasi sukses besar. Orang-orang hanya melihat hasil akhir: omzet ratusan juta, toko yang ramai, atau akun media sosial dengan ribuan pengikut.
"Tapi mereka lupa, semua itu dimulai dari keberanian untuk mencoba — meski kecil, meski penuh ragu," katanya.
Hasrani berharap para pemula tidak terjebak dalam ilusi kesempurnaan. Dunia bisnis, menurutnya, bukan panggung yang menuntut pertunjukan tanpa cela. "Justru yang bertahan adalah mereka yang tahan banting, yang tahu rasanya ditolak, rugi, lalu bangkit lagi," ujarnya sambil tersenyum.
Sore mulai merayap saat Hasrani menutup berkas-berkas di mejanya. Di luar, langit Makassar tampak muram, seolah menyimpan jutaan cerita tentang usaha yang gagal dan yang bangkit kembali.
"Bagi saya, bisnis itu seperti belajar naik sepeda," ucapnya menutup wawancara. "Kalau kamu terus takut jatuh, kamu nggak akan pernah jalan. Tapi sekali kamu kayuh — meski oleng — itu awal dari segalanya."
Rasa takut memang manusiawi. Namun tanpa keberanian untuk menghadapinya, mimpi bisnis hanya akan menjadi wacana yang tak pernah diwujudkan. Dan seperti kata Hasrani: "Kalau tak berani ambil risiko, ya jangan mimpi jadi pengusaha."
(Rizka Fraja / Unhas.TV)