UNHAS.TV - Ketika mendengar kata "Jepang", banyak yang langsung membayangkan anime, manga, atau tren budaya pop lainnya. Namun bagi Faradilla Zahra dan Yus Iranna, dua mahasiswa Sastra Jepang Universitas Hasanuddin, Jepang bukan sekadar budaya populer—ia adalah pintu masuk menuju dunia yang lebih luas: sejarah, bahasa, budaya, dan peluang karier lintas batas.
“Sebelum masuk, saya pikir jurusan Sastra Jepang itu hanya soal bahasa dan sastra. Tapi ternyata, lebih dari itu,” ujar Faradilla. Ia mengaku awalnya tertarik dengan anime dan manga, namun setelah menelusuri lebih dalam, ia menemukan bahwa Jepang memiliki kekayaan budaya dan sejarah yang menakjubkan.
Hal yang sama dirasakan Yus Iranna. Dorongan datang dari sepupunya yang bekerja di Jepang, memberinya gambaran langsung tentang negeri sakura. “Saya cari tahu dan ternyata Unhas satu-satunya kampus di Sulawesi Selatan yang punya jurusan ini,” ungkapnya.
Di balik semangat itu, mereka tidak menutup mata pada tantangan. Bahasa Jepang, yang terkenal rumit, menjadi batu ujian tersendiri. Yus mengaku kaget saat menyadari kesulitan nyata yang dihadapi saat belajar bahasa Jepang secara akademik.
“Tantangan paling besar memang bahasanya. Tapi, serunya adalah kami diberi kesempatan berinteraksi langsung dengan penutur asli,” katanya sambil tersenyum, mengingat pengalaman Zoom call bersama native speaker yang sempat membuat panik sekelas.
Pembelajaran di Sastra Jepang Unhas tidak hanya soal tata bahasa dan literatur. Mahasiswa diajak menelusuri konteks budaya, nilai moral dalam sastra klasik, serta dinamika masyarakat Jepang modern.
“Kita belajar banyak hal: linguistik, budaya, bahkan bagaimana dialog dan tindakan ditafsirkan dalam bahasa Jepang,” ujar Faradilla. Ia juga pernah belajar secara otodidak sebelum masuk kuliah, namun mengakui bahwa pembelajaran formal jauh lebih terstruktur dan mendalam.
Di luar kelas, ada wadah bernama Himaspa (Himpunan Mahasiswa Sastra Jepang), yang memfasilitasi bakat dan minat mahasiswa lewat berbagai program seperti Mawaru Bahalma (pembekalan anggota baru), Benkyo-kai (kelas persiapan JLPT), hingga Pasepa—pergelaran seni tahunan yang menghadirkan pertunjukan budaya, lomba, hingga kolaborasi dengan Konsulat Jenderal Jepang di Makassar.
“Pasepa selalu jadi momen berkesan. Kita kenal banyak orang baru, dapat pengalaman berharga,” kata Yus.
Bagaimana dengan prospek kerja? “Dosen saya pernah bilang, lulusan Sastra Jepang bisa jadi apa saja,” cerita Faradilla. Selain menjadi penerjemah atau pengajar, bekal wawasan budaya dan bahasa bisa membawa lulusan ke berbagai sektor, dari diplomasi budaya, pariwisata, hingga industri kreatif global.
Meski awalnya sempat dipertanyakan oleh keluarga, baik Faradilla maupun Yus berhasil meyakinkan mereka dengan pemahaman bahwa pilihan ini bukan keputusan sesaat, melainkan hasil dari niat dan riset matang. “Niat adalah kunci,” tegas Faradilla. Yus menambahkan, “Setidaknya cari tahu dulu huruf-huruf Jepang. Itu bakal sangat membantu di awal.”
Lewat kisah mereka, jelas bahwa Sastra Jepang bukan hanya tentang "wibu", tapi tentang membuka cakrawala baru. Di kampus merah Universitas Hasanuddin, mahasiswa Sastra Jepang menulis kisah mereka sendiri—dalam bahasa yang mungkin sulit, tapi penuh makna.