UNHAS.TV - Setiap pagi di jalanan masuk Pintu 1 Universitas Hasanuddin (Unhas), sebelum sinar matahari menelusup celah pohon flamboyan, suara sapu yang menggesek jalanan terdengar pelan.
Suara itu datang dari seorang perempuan paruh baya berjilbab biru tua, berseragam biru muda, dan rompi mencolok sebagai penanda alat keselamatan kesehatan kerja. Namanya Jumriah. Sudah lima belas tahun ia menjadi petugas kebersihan di kampus merah ini.
Bagi banyak mahasiswa, Jumriah bukan hanya sekadar "ibu sapu kampus". Ia adalah wajah ramah yang menyapa mereka saat pagi datang, tempat bercerita singkat kala hati gundah, dan telinga yang sabar mendengar curahan hati anak-anak rantau yang rindu rumah.
“Kadang mereka cerita soal tugas, soal pacar, soal orang tua. Ada juga yang cuma minta didoakan sebelum sidang,” ujar Jumriah sembari mengelap keringat di pelipis. “Saya dengar saja, kadang kasih semangat. Namanya juga anak-anak.”
Dalam rentang pengabdiannya, Jumriah pernah bertugas di banyak sudut kampus: kolam renang, gedung pusat kreativitas mahasiswa, lantai 1 Rektorat, hingga kini di kawasan Sorot Park.
Di setiap tempat, ia menjalin hubungan unik dengan mahasiswa dari berbagai Unit Kegiatan mahasiswa (UKM) —terutama renang dan tari—yang menurutnya paling sering menyapa, bahkan mengajaknya bercanda.
“Saya ingat, anak-anak UKM Renang itu dulu suka kasih saya bekal makanan. Ada yang sampai minta nomor HP, supaya kalau mereka wisuda, saya datang,” katanya sambil tersenyum malu. “Saya pikir cuma basa-basi, eh betul-betul diundang waktu nikah.”
Cerita Jumriah tentang menghadiri pernikahan mantan mahasiswa menunjukkan bahwa hubungan yang ia jalin jauh dari sekadar formalitas.
Ia menyebut satu nama, Riska, mahasiswi hukum yang dulu hampir tiap sore duduk bersamanya di pelataran UKM. Kini Riska telah menjadi advokat muda di Jakarta dan tetap berkomunikasi dengannya.
“Dia pernah bilang, ‘Kalau bukan karena Ibu Jum, mungkin saya tidak sekuat ini waktu kuliah.’ Saya terharu sekali,” tutur Jumriah, matanya berkaca-kaca.
Bagi Jumriah, mahasiswa bukan hanya bagian dari lalu-lalang rutinitas. Mereka adalah "anak-anak kampus" yang ia lihat bertumbuh.
Dari mahasiswa baru yang bingung mencari kelas, hingga lulus menjadi sarjana yang mantap berjalan ke masa depan. Interaksi itu memberinya kebahagiaan yang tak tertulis di slip gaji.
Dosen Sosiologi Unhas, Ria Renita Abbas, menyebut hubungan seperti ini sebagai "modal sosial mikro" yang langka.
“Hubungan informal lintas status di kampus mencerminkan iklim sosial yang sehat. Ada empati, ada pengakuan terhadap kemanusiaan di balik seragam kerja,” ujarnya.
Lingkungan kampus yang harmonis, kata Ria Renita, tidak hanya dibentuk oleh program kerja dan bangunan modern.
Tapi juga oleh interaksi tulus antar warganya—dosen, mahasiswa, dan petugas kebersihan—yang saling menghargai satu sama lain.
Ibu Jumriah barangkali bukan tokoh besar dengan gelar panjang. Tapi dari tangannya kampus tetap bersih, dan dari hatinya, ia menjaga kehangatan yang sering kali luput dari perhatian. Dalam dirinya, tersimpan cermin kampus sebagai rumah, tempat belajar, bertumbuh, dan pulang.
(Aminah Rahma Ahmad / Unhas.TV)