Unhas Speak Up

Lukisan Tertua dari Leang-Leang Maros, Kampung Prasejarah yang Mengubah Sejarah Seni Global




Dosen Arkeologi FIB Unhas Dr Muhammad Nur SS MA (dok unhas.tv)


Bagi Dr Muhammad Nur, arkeologi bukan sekadar ilmu untuk masa lalu, tapi juga untuk masa depan. “Kita bisa memperkaya khazanah kebangsaan dengan memahami akar budaya manusia Indonesia yang ternyata sangat tua dan penting secara global.”

Leang-Leang, lanjutnya, adalah “kampung prasejarah” yang potensial menjadi pusat edukasi, pariwisata budaya, dan kebanggaan nasional. Sayangnya, tak semua orang tahu nilai pentingnya.

“Masih banyak yang belum paham betapa berharganya situs ini. Padahal, kita bicara tentang warisan dunia, tentang lukisan tertua di planet ini—dan itu ada di Sulawesi,” tegasnya.

Lebih jauh, Muhammad Nur menjelaskan, jejak tangan di dinding batu Leang-leang tak sekadar coretan purba. Ia adalah bisikan leluhur yang menembus puluhan ribu tahun waktu, membuka tabir peradaban prasejarah yang hingga kini masih menyala terang di jagat ilmu arkeologi dunia.

“Kita harus melestarikan situs prasejarah sebelum terbukti tidak penting,” tegas Dr. Muhammad Nur, dosen arkeologi Universitas Hasanuddin di Studio UnhasTV.

Penegasan itu bukan tanpa alasan. Di balik bebatuan dan gua-gua senyap itu, tersimpan kisah panjang manusia Sulawesi, dari era Paleolitikum hingga Austronesia, dari pelukis tangan pertama hingga petani pertama.

Leang-leang, yang berarti 'gua' dalam bahasa lokal, bukan cuma situs arkeologi. Ia adalah perkampungan prasejarah. Tak kurang dari 600 gua di wilayah Maros dan Pangkep telah dipetakan oleh Balai Penelitian Kebudayaan. Dan jumlah itu kemungkinan belum mencakup seluruhnya.

“Kenapa saya sebut perkampungan? Karena mereka hidup di situ dalam berbagai rentang waktu, memanfaatkan lingkungan yang sangat kaya: air melimpah, fauna yang beragam, hingga gajah purba yang dulu sempat hidup di situ,” jelas Muhammad Nur.

Salah satu penemuan yang paling mengguncang dunia arkeologi adalah lukisan telapak tangan dan gambar hewan di dinding Leang Timpuseng yang ditaksir berusia lebih dari 50.000 tahun.

Usia yang memutar balikkan paradigma dunia, bahwa seni purba bukan hanya milik Eropa. Dan untuk mengetahui umur lukisan ini, para ilmuwan menggunakan metode penanggalan uranium series—sebuah teknologi pengukuran berbasis kimia yang juga digunakan di situs-situs Eropa.

“Karena lukisan tidak mengandung bahan organik, kita tidak bisa memakai karbon 14. Maka uranium series menjadi solusi. Dan hasilnya? Dunia kaget bahwa Indonesia menyimpan seni tertua yang pernah diketahui,” ujar Muhammad Nur dengan nada bangga.

Tak hanya gambar, peninggalan lain seperti mata panah bergerigi buatan manusia Toala dari 7.000–8.000 tahun lalu, juga disebut sebagai artefak paling presisi se-Asia Tenggara pada masanya.

Temuan lain seperti tulang gajah purba di Gua Liang Bettea, serta lapisan-lapisan budaya dari kedalaman 10 meter gua yang menunjukkan keberadaan manusia dari masa ke masa, menegaskan bahwa kawasan ini adalah laboratorium hidup tentang sejarah manusia Nusantara.

Manusia Toala, salah satu penghuni awal gua-gua itu, memiliki ciri fisik mirip Papua dan Aborigin. Namun, mereka bukan leluhur langsung kita.

“Leluhur kita adalah pendatang Austronesia yang datang 3.500 tahun lalu, membawa tembikar, kemampuan bertani, dan budaya menetap,” terang Nur. Dari merekalah sebagian besar masyarakat Indonesia kini mewarisi gen dan budaya.

Namun tak berhenti pada pencarian dan penelitian, kontribusi Unhas juga nyata dalam pelestarian. Salah satunya adalah advokasi terhadap masyarakat Ramang-ramang, kawasan kars yang kini mendunia.

“Dulu kami datang ke sana membawa mahasiswa, advokasi ke warga agar tidak menambang. Sekarang lihat, Ramang-ramang jadi kebanggaan wisata Maros. Diakui dunia dengan hadirnya Geopark Maros-Pangkep,” kata Nur, mengenang perjuangannya di awal 2000-an.

Menurutnya, pelestarian bukan soal nostalgia, tapi soal identitas dan masa depan. Ketika situs seperti Leang-leang diakui dunia, itu bukan hanya soal nilai ilmiah, tetapi juga martabat bangsa.

“Orang luar negeri mungkin tak kenal Indonesia, tapi tahu Borobudur. Suatu saat, mereka juga akan tahu Leang-leang,” ujarnya.

Lewat artefak, lukisan, dan tanah yang digali puluhan meter ke bawah, arkeologi prasejarah tidak hanya mengungkap masa lalu. Ia mengajarkan bahwa sebelum ada tulisan, manusia sudah berpikir, mencipta, dan membangun relasi dengan alam.

Dan kini, tugas generasi kita adalah menjaga warisan itu, bukan sekadar untuk ilmu pengetahuan, tapi sebagai khazanah kebangsaan yang tak ternilai.

“Arkeologi prasejarah itu penting. Ia memperkaya keindonesiaan kita,” tutup Dr. Muhammad Nur dengan kalimat yang terasa seperti prasasti—teguh, dalam, dan layak dikenang.

Ketika dunia seni mengubah bab sejarahnya karena satu goresan babi rusa dari dinding gua Maros, kita diingatkan: masa lalu bukanlah masa yang mati. Ia hidup dalam batu, dalam warna, dan dalam cerita yang masih ingin didengar.

Seperti yang dikatakan Muhammad Nur, “Masa lalu adalah bagian dari masa depan kita.” Maka merawat Leang-Leang bukan hanya menjaga sejarah—tetapi juga menulis ulang peradaban.

(Rahmatia Ardi / Unhas.TV)