
Album Wiete van Dort, warga Belanda yang cinta Indonesia
Maka mereka menciptakan Indonesia kecil di Den Haag, di Rotterdam, di Amsterdam. Setiap tahun, mereka berkumpul dalam acara bernama Pasar Malam Besar. Perempuan mengenakan kebaya dan sanggul, lelaki memakai peci dan sarung. Mereka memasak rendang dan sate, mereka berbicara dalam bahasa yang mereka takut akan hilang.
Di antara mereka, ada Wieteke van Dort. Lahir di Surabaya, tetapi hidup di Den Haag. Ia menciptakan karakter Tante Lien, yang menyanyikan lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng:
"Geef mij maar nasi goreng, met een gebakken ei." Beri aku nasi goreng, dengan telur mata sapi di atasnya.
Lagu itu bukan hanya tentang makanan. Itu tentang rumah yang tak bisa lagi mereka pulangi.
Tapi yang paling perih bukanlah kehilangan rumah, melainkan kehilangan hak untuk menyebut diri sebagai bagian dari negeri itu.
BACA: Dari Makassar ke Prancis: Jejak Dua Bangsawan Gowa di Negeri Louis XIV
Wieteke van Dort tetap mengaku sebagai orang Surabaya. Ia berbicara dengan bangga tentang kota kelahirannya, tentang betapa ia mencintai Indonesia. Namun, hukum tak mengenal nostalgia. Ia tidak pernah bisa menjadi warga negara Indonesia. Dan di sanalah perihnya. Ia mencintai sebuah negeri yang tak bisa lagi menerimanya.
Wieteke bukan satu-satunya. Ada banyak Blijvers lain yang tetap membawa Indonesia dalam ingatan mereka. Salah satunya adalah Johan Fabricius, penulis dan jurnalis yang lahir di Bandung pada 1899.
Fabricius menghabiskan masa kecilnya di Hindia Belanda. Ia menulis De Scheepsjongens van Bontekoe, sebuah novel petualangan yang menggambarkan kehidupan pelaut Belanda di Nusantara.
Setelah terusir dari Indonesia, ia tetap menulis tentang negeri itu, seakan-akan dengan kata-kata, ia bisa kembali. Lalu ada Rob Nieuwenhuys, sejarawan dan penulis Oost-Indische Spiegel, yang membahas kehidupan kolonial di Hindia Belanda.
Ia tak pernah menyembunyikan betapa ia merindukan masa kecilnya di Indonesia, betapa tanah itu telah menjadi bagian dari dirinya.