Budaya

Dari Makassar ke Prancis: Jejak Dua Bangsawan Gowa di Negeri Louis XIV

Oleh: Yusran Darmawan*

Malam di Brest terasa dingin. Angin Atlantik berembus tajam, menyapu sisa-sisa sejarah yang terkubur di kota pelabuhan barat laut Prancis itu. Gereja Saint-Louis de Brest, yang dahulu berdiri megah dengan dinding batu kokoh dan jendela kaca patri berwarna-warni, kini hanya tinggal bayangan dalam ingatan.

Dibangun pada 1688, gereja ini pernah menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi para perwira angkatan laut Prancis—termasuk seorang pangeran dari negeri jauh. Namanya Daeng Tulolo, tapi di Prancis, ia dikenang sebagai Louis Dauphin Makassar.

Di negeri yang dijuluki Le Tricolore (tiga warna) ini, ia datang bersama saudaranya, Daeng Ruru, yang kemudian diberi gelar Louis Pierre Makassar. Dua anak bangsawan Gowa ini menempuh samudra lalu menembus kalangan elit sosialita bangsawan Prancis. 

Kisah mereka pertama kali tercatat dalam karya etnolog Christian Pelras, serta buku yang ditulis sejarawan Bernard Dorleans, yakni Les Français et l'Indonésie du XVIe au XXe siècle (2001).

*** 

Kisah ini bermula di Ayutthaya, ibu kota Siam pada akhir abad ke-17. Ayah mereka, Daeng Mangalle, seorang bangsawan Gowa yang merantau ke sana, dituduh terlibat dalam konspirasi untuk membunuh Raja Siam.

BACA: Jejak Orang Makassar di Thailand

Tuduhan itu berujung pada pembantaian komunitas Makassar di Siam. Daeng Mangalle tewas, meninggalkan dua putranya yang masih belasan tahun—Daeng Ruru dan Daeng Tulolo.

Nasib membawa mereka ke Prancis. Para pejabat dagang Prancis di Siam melihat potensi dua anak ini. Mereka pun diberangkatkan ke Eropa dengan kapal Coche pada akhir November 1686, menempuh perjalanan panjang melintasi samudra. Mereka tiba di Brest pada 15 Agustus 1687, dan mencapai Paris pada 10 September.


Gereja Saint-Louis de Brest sebelum hancur pada 1944 karena Perang Dunia Kedua. Di sinilah makam Daeng Tulolo, Sang Louis Dauphin Makassar. (www.archives-finistere.fr)

Di bawah perlindungan Raja Louis XIV, mereka mendapat perlakuan istimewa. Keduanya dibaptis sebagai penganut Kristen dan diberi nama baru: Daeng Ruru menjadi Louis Pierre Makassar, dan Daeng Tulolo menjadi Louis Dauphin Makassar. Nama "Louis" bukan sekadar gelar, melainkan simbol penerimaan mereka di lingkungan elite Prancis.

Sebagai bagian dari persiapan memasuki lingkungan bangsawan Eropa, mereka disekolahkan di Lycée Louis-le-Grand, salah satu institusi pendidikan paling prestisius di Prancis. Sekolah ini, yang telah berdiri sejak 1563, menjadi tempat didikan para pemimpin masa depan Prancis, termasuk filsuf Voltaire dan Presiden Charles de Gaulle.


>> Baca Selanjutnya