.webp)
ilustrasi dia pria Makassar di militer Prancis
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, mereka diterima di akademi angkatan laut Brest—sekolah perwira paling bergengsi di Prancis. Masuk ke lembaga ini bukan perkara mudah. Hanya 206 taruna yang diterima, dan mereka harus berasal dari kalangan bangsawan.
Kisah Dua Perwira
Di antara keduanya, Daeng Ruru menonjol. Ia lulus lebih cepat dari masa studi yang seharusnya ditempuh dan meraih pangkat enseigne de vaisseau (letnan muda) di usia 19 tahun.
Kemampuannya dalam navigasi dan strategi pertempuran laut membuatnya diperhitungkan. Setahun kemudian, ia dipromosikan menjadi letnan angkatan laut dan bergabung dengan armada Prancis dalam berbagai operasi militer.
Salah satu tugas pentingnya adalah membantu armada Prancis dan Spanyol melawan Inggris di Karibia. Pada 1707, Daeng Ruru bertugas di sebuah kapal yang menyergap kapal-kapal Belanda dan ikut serta dalam pertempuran di Havana.
BACA: Karaeng Pattingalloang: Di Bawah Langit yang Tak Terbatas
Namun, ironisnya, pada 19 Mei 1708, ia tewas dalam kondisi yang masih misterius. Beberapa sumber menyebutkan ia gugur dalam pertempuran, sementara yang lain menduga kematiannya terkait intrik di dalam militer Prancis.
Sementara itu, perjalanan Daeng Tulolo tidak secepat saudaranya. Ia harus menunggu hingga 13 tahun untuk mendapatkan pangkat letnan muda. Berbeda dengan Daeng Ruru yang aktif dalam berbagai pertempuran, Daeng Tulolo lebih banyak menghabiskan waktu dalam tugas-tugas administratif dan pengawalan kapal dagang.
Daeng Tulolo melanjutkan dinasnya di kapal India hingga akhirnya wafat pada 30 November 1736. Sebagai penghormatan terakhir, kolega-kolega angkatan lautnya memberikan upacara perpisahan dan menguburkannya di tempat terhormat dalam Gereja Saint-Louis de Brest.
Jejak yang Terhapus Perang
Dua abad lebih setelah kematian mereka, perang kembali mengubah nasib Brest. Pada 1944, kota ini hancur lebur akibat serangan udara Sekutu dalam Perang Dunia II. Gereja Saint-Louis de Brest tak luput dari kehancuran.
Pascaperang, sekitar tahun 1950-an, gereja itu dibangun kembali. Namun, satu pertanyaan masih menggantung: di mana makam Daeng Tulolo?
Hingga kini, belum ada catatan resmi apakah makamnya ikut hancur atau masih tersisa di bawah fondasi gereja baru.