Unhas Story

Makassar, Gerbang Kedua untuk Mimpi Tashfeen Amir, Kaget Lihat Perempuan Naik Motor


Mahasiswa Internasional Fakultas Kedokteran Unhas asal Pakistan Tashfeen Amir. (dok unhas.tv)


Pengalamannya pertama kali menginjakkan kaki di Makassar tak kalah menarik. Hujan deras, langit kelabu, dan kilat yang menyambar membuatnya sedikit tegang di dalam pesawat. “Saya sampai baca doa terus,” ucapnya sambil mengingat momen itu.

Sesampainya di Bandara Sultan Hasanuddin, ia disambut staf kampus, lalu diantar ke kos. Malam itu, ia belum bisa memberi kabar pada keluarga karena belum punya kartu SIM lokal. Baru keesokan harinya, ia bisa menghubungi orang tua setelah menemukan akses Wi-Fi di masjid dekat kos.

Hari-hari awal di Makassar terasa penuh penyesuaian. Bahasa menjadi tantangan sekaligus pintu masuk untuk berbaur. “Kalau hangout sama teman, saya sekalian belajar bahasa Indonesia,” katanya.

Dialek Makassar yang terdengar tegas awalnya membuatnya kaget, tapi ia segera memahami bahwa di balik nada suara itu ada keramahan tulus. “Orang Makassar itu baik sekali. Kalau ada yang butuh bantuan, cepat sekali menawarkan diri,” ujarnya.

Kedekatannya dengan teman dan dosen membuatnya merasa nyaman. Beberapa dosen bahkan mengundangnya ke rumah, mengenalkannya pada masakan khas, dan mengajaknya bermain badminton. “Saya belum pernah bertemu orang yang perilakunya buruk di sini,” katanya mantap.

Tentang makanan, Tashfeen sudah mencoba berbagai hidangan khas Makassar. Coto, sup ubi, hingga konro pernah ia cicipi.

Tapi favoritnya adalah jalangkote, kudapan berisi ikan atau sayur yang mengingatkannya pada samosa di negaranya. “Di Pakistan, isinya kentang atau ayam. Di sini ikan dan sayur. Rasanya mirip tapi unik,” ujarnya sambil tersenyum.

Selain urusan kuliah dan kuliner, Tashfeen punya pandangan khusus tentang perbedaan sistem pendidikan di Pakistan, Kazakhstan dan Indonesia. Ia mengaku metode pembelajaran di Unhas lebih memberinya ruang untuk praktik langsung.

“Di sini mahasiswa bisa ikut mengamati di ruang operasi, memeriksa pasien, dan belajar dari dokter senior. Itu sangat berharga untuk kami yang sedang menempuh pendidikan kedokteran,” jelasnya.

Meski awal perjalanannya ke Unhas penuh tantangan, mulai dari keterlambatan satu semester akibat pandemi, adaptasi bahasa, hingga penyesuaian budaya, Tashfeen melihat semua itu sebagai bagian dari proses belajar.

Ia bersyukur mendapatkan dukungan penuh dari teman-teman dan para dosen. “Alhamdulillah, saya merasa diterima dengan sangat baik di sini,” katanya.

Kini, ia telah melewati program Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada Januari 2025 lalu bersama teman-teman sekelasnya. Lalu menyelesaikan studi dan lanjut program profesi dokter.

Pandangannya tentang Makassar semakin hangat. Baginya, kota ini bukan hanya tempat belajar, tapi juga ruang untuk bertumbuh sebagai pribadi.

“Makassar itu kota yang penuh warna. Orang-orangnya ramah, makanannya enak, dan lingkungannya hijau. Saya bersyukur bisa berada di sini,” ujarnya.

Di akhir perbincangan, Tashfeen tak lupa menyampaikan rasa terima kasihnya pada Unhas yang telah membuka pintu bagi mahasiswa dari berbagai negara.

Ia berharap semakin banyak mahasiswa internasional yang berani mengambil langkah untuk belajar di luar negeri, khususnya di Indonesia. “Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa dunia ini luas, dan kita bisa belajar banyak dari beragam perbedaan,” tuturnya.

Dari Pakistan ke Makassar, dari jalangkote hingga ruang operasi, perjalanan Tashfeen adalah kisah tentang keberanian meninggalkan zona nyaman, tentang memandang dunia dari sudut yang berbeda, dan tentang bagaimana sebuah kota bisa menjadi rumah, meski berada ribuan kilometer dari tanah kelahiran. (*)