UNHAS.TV - Di balik popularitas pisang yang mudah ditemui, petani pisang di Indonesia justru masih menghadapi persoalan klasik seperti kualitas bibit yang tidak seragam, serangan penyakit, hingga sulitnya memenuhi standar pasar.
Universitas Hasanuddin (Unhas) menghadirkan inovasi berbasis sains untuk menjawab tantangan untuk tanaman pisang tersebut.
Melalui pendekatan kultur jaringan dan teknologi perlindungan tanaman, Unhas mengembangkan pisang Cavendish yang lebih produktif, tahan penyakit, dan memiliki nilai tambah tinggi bagi petani.
Peneliti utama pisang Cavendish Unhas, Prof Dr Tutik Kuswinanti MSc, menjelaskan latar belakang lahirnya inovasi ini. “Kalau kita melihat data BPS, buah yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia itu pisang”, ujarnya.
“Dari sisi produksi nasional juga, pisang menempati urutan pertama. Apalagi permintaan pasar untuk pisang Cavendish saat ini sangat besar, baik domestik maupun ekspor. Di sinilah Unhas melihat peluang untuk berkontribusi,” tambahnya.
Prof Tutik menyebut bahwa riset pengembangan pisang Cavendish di Unhas sudah berjalan sejak 2012. “Kami sudah memiliki beberapa paten yang menyertai proses pengembangan Cavendish ini,” ungkap Wakil Dekan Bidang Kemitraan, Riset, Inovasi, dan Alumni Fakultas Pertanian Unhas ini.
“Salah satunya adalah teknologi untuk menginduksi ketahanan pisang lewat kultur jaringan. Bibit yang nantinya ditanam bisa lebih tahan terhadap penyakit,” lanjutnya.
Menurutnya, dua penyakit utama masih menjadi momok bagi pertanaman pisang di Indonesia. Layu Fusarium akibat Fusarium oxysporum dan penyakit darah yang disebabkan bakteri.
Ras TR4 dari Fusarium disebut sebagai tipe yang paling agresif karena mampu menyerang hampir semua varietas pisang.
Kondisi ini diperparah oleh kebiasaan sebagian petani yang mengambil anakan dari indukan yang terlihat sehat, padahal sering kali mengandung patogen sehingga menjadi sumber penyebaran penyakit di lapangan.
Keunggulan Cavendish hasil inovasi Unhas adalah bibitnya yang telah melalui serangkaian proses seleksi laboratorium dan perlindungan mikroba.
“Tanaman juga bisa divaksin,” jelas Prof Tutik. “Kami menggunakan mikoriza dan bakteri Pseudomonas fluorescens untuk melindungi akar sejak awal. Jadi sebelum turun ke lapangan, bibitnya sudah punya ‘pasukan’ pelindung,” lanjutnya.
Bibit Sampai ke Manado-Ambon
Inovasi ini telah diperkenalkan ke sejumlah daerah di Indonesia melalui berbagai program penelitian Kemendikbudristek.
Bibit Cavendish hasil pengembangan Unhas kini telah sampai ke Manado, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Ambon, hingga wilayah-wilayah di Sulawesi Selatan seperti Pinrang, Gowa, dan Maros.
Unhas juga tengah menjalin komunikasi dengan calon mitra industri yang disebut berminat melakukan penanaman dalam skala besar hingga 50 hektare.
Meski memiliki bibit unggul, keberhasilan penanaman juga sangat bergantung pada kondisi lahan. Prof Tutik menegaskan bahwa faktor paling penting adalah sejarah lahan. “Kalau lahan itu pernah ditanami pisang dan ada riwayat penyakit, lebih baik cari lokasi lain”, katanya.
“Patogen fusarium bisa bertahan di tanah sampai 20 tahun. Industri besar pun biasanya angkat tangan kalau lahannya sudah terkontaminasi,” tuturnya.
Selain riwayat penyakit, faktor fisik dan kimia tanah, pH, elevasi, serta ketersediaan air turut menentukan produktivitas. Awal musim hujan dinilai sebagai waktu paling ideal untuk memulai penanaman karena kebutuhan air pada fase awal pertumbuhan relatif tinggi.
Proses persiapan bibit di Unhas dilakukan melalui tahapan ketat mulai dari pemilihan indukan secara visual dan pemeriksaan PCR untuk memastikan bebas patogen.
Setelah melalui kultur jaringan, planlet diaklimatisasi di media semi steril selama satu bulan sebelum dipindahkan ke bedengan. Tahap aklimatisasi ini dinilai krusial karena menentukan kemampuan tanaman beradaptasi dari lingkungan laboratorium ke kondisi lapangan.
Untuk pola tanam, jarak idealnya adalah 2 x 2,5 meter hingga 3 x 2,5 meter, tergantung ukuran buah yang diinginkan.
Petani juga perlu membatasi jumlah anakan hanya dua dengan umur berbeda agar produktivitas stabil. “Dari satu bibit bisa panen sampai tiga kali, bahkan lima kali kalau kondisi sehat,” ujarnya.
Perawatan tanaman Cavendish juga membutuhkan ketelitian tinggi mulai dari pemupukan hingga penanganan buah.
Ketika tandan mulai terbentuk, petani perlu segera membungkusnya dengan plastik pelindung untuk mencegah gangguan serangga. Pemotongan jantung pisang turut dianjurkan agar penyaluran nutrisi terfokus pada pembesaran buah.
Pascapanen pun tidak bisa sembarangan. “Pisang tidak boleh jatuh atau terbentur”, kata Prof Tutik. “Di industri besar, ada rel khusus dari kebun ke packing house sehingga tandan tidak menyentuh tanah sama sekali”.
Setiba tiba di packing house, sisir pisang dicuci, dikeringkan, dibungkus, dan dikemas pada suhu terkontrol sebelum masuk distribusi.
Dengan rangkaian inovasi dan riset panjang ini, Unhas berharap pengembangan pisang Cavendish mampu menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus membuka peluang industri ekspor.
“Kami ingin inovasi ini benar-benar memberi manfaat, tidak hanya untuk kampus tetapi juga untuk masyarakat,” tutup Prof Tutik.
(Zulkarnaen Jumar Taufik / Unhas TV)
Peneliti pisang cavendish FP Unhas dan Wakil Dekan Bidang Kemitraan, Riset, Inovasi, dan Alumni Fakultas Pertanian Unhas Prof Dr Ir Tutik Kuswinanti MSc. (dok unhas tv)








