Oleh: Yusran Darmawan*
Jakarta, akhir 1999. Di Istana Negara yang hangat oleh kilatan kamera dan napas politik pascareformasi, nama Kwik Kian Gie diumumkan sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri dalam kabinet Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Ruang itu hening sesaat. Bukan karena ia tak dikenal, tapi karena untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik, seorang keturunan Tionghoa menempati posisi sepenting itu dalam jajaran pemerintahan.
Ia berdiri dengan tenang. Tak ada sorak kemenangan, tak ada gestur teatrikal. Hanya sorot mata yang teduh dan langkah kaki yang pasti, seperti mengatakan, “Saya di sini bukan untuk membuktikan siapa saya, tapi untuk bekerja.”
Sebagai warga Tionghoa di negeri yang kerap curiga pada darah dan silsilah, pengangkatan itu bukan sekadar jabatan. Itu adalah tonggak sejarah. Sebuah tanda kecil bahwa mungkin, harapan hidup berdampingan secara setara masih ada di negeri ini.
Namun Kwik tak membanggakan identitas itu. Ia membiarkannya menyatu dalam kerja. Ia tahu, penerimaan itu bersyarat. Tapi seperti biasa, ia tidak mengeluh. Ia memilih mencintai negeri ini dalam diam dan keteguhan.
Kwik Kian Gie lahir di Juwana, Pati, Jawa Tengah, pada 1935. Ia hidup dalam masyarakat yang belum pulih sepenuhnya dari luka sejarah dan prasangka etnis. Tapi dari kota kecil itulah, ia tumbuh menjadi intelektual besar dengan semangat kebangsaan yang tak pernah luntur.
Setelah menyelesaikan pendidikan persiapan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, ia melanjutkan studi ke Nederlandsche Economiche Hogeschool Rotterdam (kini Erasmus Universiteit Rotterdam) dan lulus pada 1963.
Ia bisa saja memilih kehidupan yang tenang di Eropa, tetapi ia pulang, dengan satu keyakinan: Indonesia adalah rumah, bahkan jika kadang rumah itu dingin dan sempit baginya.
Dalam dunia politik, ia bergabung dengan PDI pada 1987, menjadi anggota Badan Pekerja MPR, lalu menjabat Wakil Ketua MPR. Ketika Megawati Soekarnoputri memimpin PDI Perjuangan, Kwik menjadi Ketua DPP dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan partai.
Ia kemudian dipercaya menjadi Menteri Koordinator Bidang Ekuin oleh Gus Dur (1999 sampai 2000), dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Bappenas di era Presiden Megawati (2001 sampai 2004).
Pada 2005, negara menganugerahinya Bintang Mahaputra Adipradana, pengakuan formal bagi integritas yang tak pernah ia banggakan secara lantang.
Namun di luar jabatan, ia lebih dikenal sebagai suara nurani dalam kebijakan ekonomi. Ia menulis kolom dengan analisis tajam namun jujur.
Setiap tulisannya bukan sekadar opini, tapi semacam peta moral ekonomi yang ia bentangkan dengan ketelitian seorang akademisi dan kepekaan seorang warga negara yang peduli.