Opini
Polhum

Dari Iran Vs Israel, Kita Menafsir Perang di Masa Depan

Di sebuah ruangan gelap bercahaya biru, seorang anak laki-laki berdiri tenang di depan panel kendali. Matanya tak berkedip, tangannya menari cepat di atas layar sentuh.

Di layar raksasa di depannya, ratusan pesawat tak berawak melesat membentuk formasi. Mereka menggempur armada musuh dalam keheningan absolut. Tak ada darah, tak ada jeritan, hanya statistik dan angka yang berkurang.

Itu hanyalah cuplikan dari Ender’s Game, fiksi ilmiah tentang anak-anak yang dilatih untuk memimpin perang masa depan. Tapi hari ini, fiksi itu tidak lagi sekadar khayalan. Ia telah berubah menjadi cermin dari kenyataan yang sedang dibentuk perlahan—dari gurun Iran, langit Gaza, hingga parit digital di Ukraina.

Perang telah berubah rupa. Ia tak lagi datang dengan dentuman meriam dan barisan infanteri. Ia menyusup dalam bentuk algoritma, drone bersenjata, satelit pemantau, dan gelombang tak terlihat yang mampu melumpuhkan kota dalam hitungan menit. Tak ada lagi garis depan yang pasti. Semua bisa menjadi target: pembangkit listrik, pelabuhan, rel kereta, bahkan rumah sakit dan pusat data.

Konflik Rusia-Ukraina memperlihatkan betapa cepat dan brutalnya perang modern menghancurkan infrastruktur sipil. Begitu pula dalam tensi tinggi antara Iran dan Israel, serangan tidak hanya diarahkan ke pangkalan militer, tetapi juga ke pusat riset dan jaringan teknologi. Perang kini adalah soal kelumpuhan sistem, bukan semata penguasaan wilayah.

BACA: Jika Rudal Hipersonik Mengarah ke Indonesia, Kita Bisa Apa?

Di langit, drone-drone kecil dan besar saling memburu. Beberapa digerakkan dari ruang kendali, sebagian lain telah diprogram untuk memilih dan mengeksekusi target secara otomatis.

Kecerdasan buatan telah membuat drone mampu beroperasi tanpa intervensi manusia—membaca citra panas, mengenali pola pergerakan, dan menghantam dengan presisi. Dalam waktu dekat, mereka akan bekerja dalam kawanan, saling berkomunikasi, membagi peran, dan menyesuaikan strategi secara kolektif.

Robot tempur juga bukan lagi konsep eksperimental. Di medan tempur, mereka mulai menggantikan pasukan manusia untuk operasi berisiko tinggi. Mereka membawa senjata, pasokan logistik, bahkan peralatan medis.

Tak mengenal takut atau lelah, mesin-mesin ini akan menjadi "prajurit" yang tak pernah meminta pulang, tak pernah trauma, dan tak perlu upacara pemakaman.

Sementara itu, rudal telah berkembang menjadi senjata berkecepatan hipersonik. Rudal Kinzhal Rusia, misalnya, mampu melesat lebih dari lima kali kecepatan suara.

Rudal seperti ini hampir mustahil dicegat oleh sistem pertahanan konvensional. Mereka bisa menempuh ribuan kilometer dalam hitungan menit—membuat waktu reaksi pertahanan tidak lagi dalam hitungan jam, tetapi detik.

Namun perang tidak berhenti di bumi. Ia telah menjangkau langit tertinggi, tempat orbit satelit menjadi ladang persaingan baru. Negara-negara besar menempatkan satelit militer untuk pengintaian, navigasi rudal, dan komunikasi. Tapi satelit kini juga jadi sasaran.

Cina dan Rusia telah mengembangkan teknologi untuk melumpuhkan atau menghancurkan satelit lawan. AS menyiapkan "satelit pemburu" untuk melindungi dominasinya. Langit, yang dulunya tempat para astronom dan pelancong mimpi, kini menjadi front pertarungan senyap.

Di sisi lain, medan perang yang paling licin dan tak terlihat justru terjadi di ruang informasi. Perang hari ini adalah soal membentuk persepsi. Gambar tangisan anak, video ledakan, atau bocoran intelijen bisa lebih berpengaruh daripada serangan udara.

Media sosial menjadi alat tempur. Di tangan yang tepat, ia bisa menggiring simpati global. Di tangan yang salah, ia bisa menciptakan kebohongan yang memicu perang.

Dan semua ini tidak mungkin berjalan tanpa dukungan aliansi global. Ukraina bisa bertahan karena suplai senjata dan data dari NATO. Israel kuat karena koordinasi dengan AS. Iran pun tidak berdiri sendiri—Rusia dan Tiongkok menjadi mitra penting dalam pengembangan teknologi dan diplomasi.

Perang masa depan tidak akan dimenangkan oleh kekuatan tunggal, melainkan oleh jaringan aliansi yang saling menopang dari bidang militer, logistik, hingga ruang digital.

Di akhir film Ender’s Game, sang anak akhirnya sadar bahwa misi yang ia jalankan bukanlah simulasi. Ia benar-benar memimpin pembantaian. Ia menang, tapi hatinya hancur. Kemenangan itu membekas sebagai luka.

Hari ini, pertanyaan tentang perang tidak lagi sesederhana "siapa menang, siapa kalah." Perang masa depan adalah tentang bagaimana manusia tetap bertahan sebagai manusia di tengah teknologi yang semakin tidak mengenal belas kasih.

Tentang apakah kemenangan militer masih sebanding dengan kehancuran sipil. Dan tentang apakah peradaban ini bisa mengendalikan alat-alat tempurnya sebelum semua terlambat.

Karena pada akhirnya, perang masa depan bukan hanya milik jenderal dan insinyur. Ia juga tentang kita—para warga sipil—yang harus bersiap hidup di dunia tanpa kepastian, di mana keputusan bisa diambil dalam sekejap oleh mesin, dan hasilnya… bisa mengubah nasib seluruh bangsa.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Sebuah negeri kepulauan yang membentang lebih dari 17 ribu pulau, dengan garis pantai sepanjang lebih dari 100 ribu kilometer, dan posisi strategis di jantung Indo-Pasifik.

Dalam dunia yang penuh ancaman tersembunyi dan serangan tak kasat mata, kedaulatan Indonesia tidak cukup dijaga dengan jumlah pasukan atau kapal perang semata. Yang dibutuhkan adalah ketangguhan menyeluruh—pertahanan total—yang bersifat multidimensi, lintas sektor, dan lintas generasi.


>> Baca Selanjutnya